by Cucu Surahman on Thursday, April 21, 2011 at 3:49pm
Hari ini Leiden memang sangat sempurna. Hampir-hampir aku menyimpulkan inilah surga yang Tuhan janjikan pada masyarakat Arab 14 abad yang lalu itu. Hari ini aku saksikan sungai-sungai/kanal nan bersih mengalir dengan tenang, ku dapatkan bunga-bunga yang berwarna-warni bermekaran, dan ku lihat aneka macam burung dengan riang beterbangan. Hangatnya suasana dan segarnya udara musim semi bertambah sempurna dengan berlalu-lalangnya bidadari nan cantik jelita. Semua ini menambah ingatanku akan surga yang Tuhan gambarkan dalam kitab suci-Nya, yaitu surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai mengalir dan wanita-wanita suci yang selalu siap mendampingi. Aku berpikir, inikah surga yang didambakan para teroris itu dan karena sudah tak tahan tuk mendapatkannya, mereka rela membunuh mereka sendiri.
Dari sini aku juga berpikir, bagaimanakan kiranya bila wahyu Qur’ani itu diturunkan di negeri ini. Aku menduga mungkin bukan sungai-sungai yang digambarkan, tapi mungkin udara hangat seperti hari inilah yang dilukiskan, keadaan yang hanya terjadi di musim-musim tertentu setiap tahunnya. Ahh itu hanya menduga-duga. Tapi memang bagiku surga sejatinya adalah gambaran atas segala sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang indah dan menentramkan.
Percikan-percikan surga itu memang ada di tempat ini. Betapa tidak. Apa-apa yang didambakan bangsa kita dapat ditemukan di sini. Tidak ada hiruk-pikuk dan kemacetan yang biasa aku temukan di ibu kota Jakarta. Kereta api dua tingkat yang gagah, sebagai alat transportasi masal, hari ini telah mengantarkanku ke Denhaag dengan nyaman dan sesuai dengan waktu yang dijadwalkan.
Inilah di antara hal yang membuatku kagum pada negeri ini, tentunya di samping segala macam sistem dan prosedur yang luar biasa. Semoga ini bukan merupakan keterepesonaan seorang pelajar Muslim pada Barat seperti yang biasa dituduhkan kaum fundamentalis kepada orang-orang yang belajar dan mengambil hikmah di sarang para Orientalis. Bagiku ini adalah kenyataan. Di mana bangsa kita memang jauh tertinggal dari bangsa Barat. Aku hanya berharap akan suatu masa di mana Indonesia bisa menjadi bangsa yang makmur dan sejahtera, di mana rakyatnya bisa merasakan hak-haknya sebagai seorang manusia. Mereka bisa makan, minum dan bertempat tinggal secara wajar. Bisa menikmati pola hidup yang baik, fasilitas transportasi yang baik, bisa menyeimbangkan unsur fisik, mental dan spiritualnya. Di samping siap menyongsong kehidupan abadi, juga bisa menikmati kelayakannya di dunia ini.
Aku tidak sedang bicara spiritualitas. Yang ingin aku katakan adalah pola hidup yang sehat. Pola hidup sehat bangsa ini terlihat dari relatif panjangnya masa hidup mereka. Ku saksikan kakek-kakek dan nenek-nenek yang bisa menikmati masa tuanya. Mereka berjalan bergandengan tangan dan duduk di depan kafe menikmati minuman dan makanan kecil di tengah hangatnya belaian mentari. Sungguh damai. Tidak seperti kebanyakan para lansia di negeriku Indonesia yang masih harus tetap bekerja hanya untuk sesuap nasi dan menyambung hidup mereka sehari-hari.
Untuk urusan dunyawi, memang bangsa kita patut belajar dari bangsa ini. Janganlah merasa malu untuk mencontoh mereka. Tanpa meninggalkan agama dan spiritualitas yang kita yakini, kita pasti bisa seperti mereka. Tentu untuk itu kita harus meneladani sikap mulia mereka, seperti kerja keras, kerja cerdas, disiplin, jujur, dan seterusnya, yang sebetulnya merupakan inti ajaran agama kita, tapi mungkin belum bisa kita optimalkan. Memang keadaan mereka adalah bentuk akumulasi antara kesehatan, kecerdasan, dan teknologi. Dengan ini semua mereka tambah jauh meninggalkan kita.
Terkait kerja keras yang cerdas, teman kamarku yang berbangsa Belanda pernah bicara, orang Asia itu rajin dan pekerja keras, sambil menunjuk kepada seorang teman lain yang berasal dari Asia, tapi ia tidak efektif dan efesien. Apa yang dikerjakan orang Asia sebulan dapat kami selesaikan dua minggu saja, kata temanku tadi. Inilah maksud dari kerja keras yang cerdas.Terkait dengan kejujuran, aku juga punya pengalaman. Ketika itu flashdisk-ku ketinggalan di komputer Universitas. Aku sudah menyangka kalau FD ku akan hilang. Setelah aku melihat kenyataan bahwa di komputer yang sebelumnya aku pakai, FD itu telah tiada. Pasrah saja dan tidak terlalu berharap ia akan kutemukan kembali. Seperti kebanyakan kasus di negeriku, biasanya ia akan lenyap. Jangankan FD yang kecil wujudnya [tapi besar nilainya], motor saja raib tak pernah ada kabar. Tapi di negeri ini, ternyata tidak demikian. sehari setelah itu ternyata aku mendapati satu pesan elektronik yang dikirim pihak Kampus yang menyatakan FD anda tertinggal di komputer kampus dan silahkan diambil. Luar biasa.
Inilah secuil pengalamanku di negeri yang katanya dihuni orang-orang kafir [dalam hal agama], yang mengikuti aturan thaguth. Di sini mungkin perlu ditekankan, dalam urusan muamalah, kita harus bekerja sama, saling pinjam, saling beri. Janganlah menutup diri atas kemajuan peradaban bangsa lain. Dan dalam urusan keyakinan, biarkanlah hati kita masing-masing menjaganya. Satu lagi yang perlu dicatat, dalam urusan muamalah, rasionalitas harus menempati posisi yang tinggi, sehingga apapun yang berkaitan dengannya, rasio bisa mengambil peran. Hanya dengan ini, bangsa kita memiliki harapan untuk mengejar ketertinggalan.
20 April 2011
C.S.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar