Dengan ridho Allah dan rahmat Allah dari dunia sampai akhirat

Rabu, 17 Agustus 2011

Menulis Berbasis Otak

by Rochmad Widodo on Friday, May 20, 2011 at 9:18am

Menulis Berbasis Otak

Oleh R.W. Dodo*

Setiap penulis memang unik. Antara penulis satu dengan yang lain mempunyai kekuatan sendiri-sendiri pada kata yang dirangkainya. Ada yang dominan letak kekuatannya pada manis racikan kata yang dibuat, akan tetapi kurang begitu kuat dibagian informasi dan makna. Ada juga yang informasinya sangat kuat, detail dan banyak hal baru, akan tetapi lemah kemasan struktur bahasanya. Dan tak jarang, ada banyak penulis yang mampu segalanya, dari berbagai aspek semua benar-benar bertenaga.



Selain pada titik kekuatan karya, letak keunikan penulis juga ada pada proses berkarya. Tiap penulis mempunyai proses relatif tidak sama dalam menerjemahkan imajinasinya menjadi kata yang bermakna. Bahkan, seorang penulis bisa jadi mempunyai perbedaan gaya pada setiap menulis karya, baik itu terkait pada proses internal kerja otaknya maupun proses eksternal yang menunjangnya dalam berkarya.

“Saya kalau menulis harus berurutan. Kalau ternyata ada yang lupa, maka saya akan langsung cari tahu dulu di google,” begitulah aku beberapa peserta di Writer University menjelaskan bagaimana mereka melakukan proses menulis.

“Saya sih, lebih suka menulis yang saya sudah paham betul. Kalau ternyata yang saya pahami bagian bab 4, ya saya tulis bab 4. Walaupun bab 2 dan 3 belum saya buat. Nanti tidak masalah buat bab 2 dan 3 setelah bab 4 selesai dibuat. Dari pada nanti saya malah lupa,” komentar yang lain.

Bisa jadi para pembaca juga menjadi penulis yang ketika menulis sama seperti salah satu tipe di atas. Atau bahkan mempunyai tipe yang berbeda, gabungan antara keduanya?

Pada dasarnya, sah-sah saja mau menjadi tipe yang mana. Memang tidak ada patokan bahwa jika menggunakan gaya satu di antaranya bisa memastikan karya yang dibuat akan lebih bagus. Atau sebaliknya, jika menggunakan yang lain akan jelek. Dan pada catatan ini, kita tidak akan membahas pada sisi itu. Akan tetapi, akan membahas lebih jauh memahi bagaimana proses otak bekerja saat menulis.

Otak Kanan dan Otak Kiri Penulis

Semua aktifitas kita, tidak akan lepas dari proses kerja otak, termasuk di antaranya menulis. Tetapi, masih jarang sekali penulis memperhatikan pola kerja otaknya ketika berkarya. Memang ketidaktahuan penulis tentang pola kerja otak tidak selalu menjadi penentu kualitas karyanya. Karena justru yang lebih berpengaruh adalah bagaimana bisa memaksimalkan kinerja otaknya. Ya, buktinya banyak penulis yang karyanya hebat, bertenaga, dan best seller, mereka tidak tahu kinerja otak. Walaupun demikian, tentu alangkah lebih baik jika kita tahu kinerja dan bisa memaksimalkannya.

Pada tahun 1960-an, Roger Sperry melakukan sebuah penelitian fungsi otak. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat sebuah perbedaan dua fungsi otak sebelah kiri dan kanan manusia, dan hal tersebut membentuk sifat, karakteristik serta kemampuan yang berbeda pada seseorang.

Roger Sperry menyatakan bahwa, otak kiri berfungsi dalam hal-hal yang berhubungan dengan logika, rasio, kemampuan menulis dan membaca, serta merupakan pusat matematika. Beberapa pakar menyebutkan bahwa otak kiri merupakan pusat Intelligence Quotient (IQ). Sedangkan otak kanan berfungsi dalam perkembangan Emotional Quotient (EQ). Misalnya sosialisasi, komunikasi, interaksi dengan manusia lain serta pengendalian emosi. Pada otak kanan ini pula terletak kemampuan intuitif, kemampuan merasakan, memadukan, dan ekspresi tubuh, seperti menyanyi, menari, melukis dan segala jenis kegiatan kreatif lainnya.

DePorter (2004:36) mengungkapkan bahwa proses berpikir otak kiri bersifat logis, sekuensial, linear, dan rasional. Otak kiri berdasarkan realitas mampu melakukan penafsiran abstrak dan simbolis. Cara berpikir sesuai untuk tugas-tugas teratur, ekspresi verbal, menulis, membaca, asosiasi audiotorial, menempatkan detail dan fakta, fonetik, serta simbolisme. Untuk belahan otak kanan cara berpikirnya bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik. Cara berpikirnya sesuai dengan cara-cara untuk mengetahui yang bersifat nonverbal, seperti perasaan dan emosi, kesadaran yang berkenaan dengan perasaaan (merasakan kehadiran suatu benda atau orang), kesadaran spasial, pengenalan bentuk dan pola, musik, seni, kepekaan warna, kreativitas dan visualisasi.

Jadi, ketika kita menulis pada dasarnya menyinergikan kedua otak kita (kanan dan kiri). Saat kita menulis naskah fiksi, imajinasi kita ada di bagian kerja otak kanan, sedangkan bagian penerjemahan imajinasi ke kata menjadi serangkaian kalimat ada di bagian kerja otak kiri. Seorang penulis yang baik, kedua otaknya akan bersinergi dengan kompak sehingga tulisan yang dihasilkan pun menjadi imajinatif dan bahasa yang terkemas runut juga bernyawa.

Lain halnya bagi beberapa penulis yang belum seimbang antara kinerja kedua otaknya. Sekalipun kinerja otak kanannya bagus, imajinasinya benar-benar unik dan berbeda, tanpa diimbangi dengan otak kiri yang bagus, maka hasil tulisannya pun akan jadi dangkal. Bahkan, jika memaksakan diri untuk menghidupkan solusi dari otak kirinya, bisa jadi kinerja otak kanannya pun juga terhenti.

Pernah mengalami kebingungan memilih kata saat menulis? Lalu, terus memaksakan diri mencari diksi itu dengan berpikir keras dan ternyata setelah itu jadi lupa bagaimana lanjutan ceritanya? Ya, itulah yang saya maksud dengan kasus di atas.

Mungkin teman-teman jadi terbersit pertanyaan, “lalu bagaimana cara menyeimbangkan otak kanan dan kiri kita saat menulis?”

Subconsious Mind (Pikiran Bawah Sadar)

Cara mengisi daftar kata-kata di otak kiri bisa dilakukan dengan membaca, menghafal kosa-kata, mencermati orang berbicara, dan sebagainya. Tapi, hal itu tidak cukup untuk menjadi bekal agar otak kiri kita bisa benar-benar hidup saat menulis dan membantu menerjemahkan keliaran imajinasi kita menjadi kemasan kalimat yang menarik. Karena sejatinya, daya simpan memori otak kiri kita tidaklah sedahsyat yang kita kira. Daya kerja otak kiri kita menurut penelitian kekuatannya tidak lebih hanya bisa digunakan dalam waktu 3 jam. Selebihnya sudah tidak maksimal.

Pernah kalian menghafalkan rumus-rumus matematika, atau arti kata bahasa Inggris di sekolahan dan sesampainya di rumah sudah lupa? Coba diingat, apakah teman-teman masih ingat pelajaran yang sempat kalian hafal di bangku SD, SMP, SMA?

Ya, ada yang masih ingat. Tapi, porsinya sangat kecil sekali. Dan perlu diketahui, pada dasarnya yang diingat itu bukanlah pada taraf kinerja pikiran sadar kita di otak kiri. Tidak lain, itu adalah data ingatan kita yang tersimpan di pikiran bawah sadar.

Pikiran bawah sadar adalah pikiran yang bekerja secara otomatis dan bertahan lama. Adapun pola terbentuknya pikiran bawah sadar kita bekerja bersumber dari repetation (pengulangan), belief (keyakinan), dan impression (kesan). Hafalan yang kita ingat sampai sekarang sejatinya bukanlah karena hafalan kita, tapi biasanya dikarenakan memang sering diulang digunakan dalam keseharian hidup kita, atau kalau tidak begitu karena kita memang benar-benar terkesan yang diakibatkan dari kejadian yang berhubungan dengan hidup kita.

Dalam menulis, akan sangat bagus sekali jika memang dibangun dengan pola pikiran bawah sadar yang bekerja. Jadi, yang menerjemahkan imajinasi tidak hanya sekedar otak kiri, tapi pikiran bawah sadar. Sehingga, kata bisa spontan tertata dengan sendirinya tanpa harus berpikir keras untuk memilah-milah kata yang tepat, dan bisa menghentikan kreatifitas otak kanan dalam berimajinasi. Adapun cara yang bisa dilakukan untuk menghidupkannya yaitu tidak lain juga dengan tiga prinsip pola terbentuknya pikiran bawah sadar, dari repetation (pengulangan), belief (keyakinan), dan impression (kesan).

Memang tepat, jika banyak trainer kepenulisan menyarankan kepada para penulis pemula agar terus menulis, menulis dan menulis. Karena dengan demikian, mareka akan melakukan repetation (pengulangan) yang akan membentuk pikiran bawah sadarnya sendiri. Begitupun juga saran mereka menyuruh para penulis mereka agar menulis saja, jangan khawatir tulisan itu bagus atau tidak. Karena pada dasarnya itu adalah proses menghidupkan pikiran bawah sadarnya dengan membentuk belief (keyakinan) pada si penulis pemula. Mungkin selanjutnya yang perlu digali lagi adalah impression (kesan)-nya. Bagaimana mereka dibuat agar bisa berkesan ketika menulis?

Atau teman-teman mau bercerita tentang kesan saat menulis? Silakan tuliskan kesannya setelah benar-benar menulis! ^_^

Semoga bermanfaat! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar