Dengan ridho Allah dan rahmat Allah dari dunia sampai akhirat

Minggu, 07 Agustus 2011

Puasa dan Perkembangan Ruhani

Puasa dan Perkembangan Ruhani
Puasa bukan saja ada dalam agama Islam, tetapi juga di dalam agama Yahudi, Nasrani, bahkan agama-agama lainnya. Saya percaya bahwa semua agama itu pada dasarnya agama langit. Agama terbagi dua : agama Samawi dan agama Thabi’i. Agama Samawi adalah agama yang turun dari langit, misalnya agama Islam, Nasrani dan Yahudi. Sedangkan agama Thabi’i adalah agama yang lahir secara alamiah. Contohnya agama Hindu, Budha, Shinto dan Konghucu. Menurut saya semua agama pada awalnya adalah agama samawi. Seluruh agama pada permulaannya datang dari Allah tetapi dalam perkembangannya terjadilah perubahan yang merupakan campur tangan manusia.
Karena seluruh agama pada awalnya adalah agama Samawi, tidak heran kalau seluruh agama mensyariatkan puasa. Apapun bentuknya. Bahkan pada masyarakat yang tidak mengenal agama, seperti pada bangsa-bangsa primitif, kita temukan adanya kebiasaan berpuasa.
Mengapa puasa disyariatkan oleh Allah SWT pada seluruh agama ?
Pertama, puasa adalah alat untuk mendekatkan diri menuju Allah. Karena alasan inilah, kita menemukan puasa terdapat pada seluruh agama di dunia ini.
Kedua, agama dapat memenuhi kebutuhan spiritual kita. Jika anda seorang Antropolog, anda tahu bahwa banyak lembaga-lembaga sosial dibentuk untuk memenuhi kebutuhan manusia. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia akan pemuas seksual, masyarakat membentuk lembaga pernikahan. Untuk memenuhi ambisi akan kekuasaan, masyarakat menciptakan sistem politik. Untuk memenuhi kebutuhan ruhaniah manusia di masyarakat, lahirlah agama. Agama adalah institusi kebutuhan ruhaniah.
Secara filosofis kita percaya bahwa yang membedakan kita dari mahluk-mahluk yang lain adalah ruh. Sebagian orang menyatakan bahwa hakikat kemanusiaan seseorang terletak di dalam ruhnya. Ada suatu penelitian tentang puasa di barat. Penelitian itu mengamati sekelompok orang yang berpuasa. Setelah beberapa hari puasa, terjadi sesuatu yang aneh. Pikiran mereka menjadi filosofis. Mereka menjadi bisa berfilsafat. Seperti filusuf, orang yang puasa mulai berpikir yang abstrak. Pikiran mereka tidak terbatas pada hal-hal yang kongkrit lagi.
Dalam psikologi perkembangan (development psychology), kita ketahui dalam perkembangan kepribadiannya, manusia mengubah-ubah kebutuhannya. Dengan kata lain, kenikmatan manusia berganti-ganti sesuai dengan perkembangan kepribadiannya. Pada tingkat yang masih awal sekali dalam perkembangan kepribadian, kebutuhan manusia itu hanya berkaitan dengan hal-hal yang kongkrit atau hal-hal yang berwujud dan kelihatan. Pada tingkat ini, kebutuhan itu memerlukan pemuasan yang segera (immediate gratification).
Teori Freud
Sigmund Freud bercerita tentang kesenangan anak-anak di masa kecil mereka. Menurutnya ada tiga tahap perkembangan kenikmatan anak-anak itu. Semua tahap ini memiliki persamaan. Semuanya bersifat kongkrit, bisa dilihat dan sifat pemenuhannya yang sesegera mungkin.
Kalau orang itu lapar, ia makan. Ia segera memuaskan kebutuhannya dengan kesenangan pada makan dan minum. Menurut Freud, letak kenikmatan pada periode paling awal dalam perkembangan kepribadian anak adalah mulutnya. Ia menyebutnya Periode Oral. Anak-anak menemukan kenikmatan ketika memasukkan sesuatu ke mulutnya. Kesenangan ini diperolehnya dalam pengalaman pertama menyusu pada ibunya. Lalu ia belajar memasukkan apa saja ke dalam mulutnya. Pada periode oral ini, jika anak-anak diperintahkan untuk berjalan, dia akan berusaha untuk mengambil sesuatu dan memasukannya ke dalam mulut. Bila tida ada sesuatu yang bisa diraih atau diletakkan ke dalam mulutnya, dia akan memasukkan tangannya sendiri.
Pada perkembangan selanjutnya, kenikmatan tidak hanya terletak pada mulut. Dia mendapatkan kenikmatan ketika mengeluarkan sesuatu dari tubuhnya. Seperti ketika dia buang air besar atau buang air kecil. Masa itu disebut Periode Anal. Pada periode ini, seorang anak bisa berlama-lama di atas toilet. Dia senang melihat tumpukan kotorannya dan kadang-kadang ia mempermainkannya.
Sesudah itu, kepribadian anak berkembang lagi. Kini kenikmatannya bergeser. Dia memasuki satu periode yang akan mempersiapkan dirinya untuk menjadi orang yang lebih dewasa. Periode ini dinamakan Periode Genital. Dia senang mempermainkan alat kelaminnya dan memperlihatkannya pada orang tuanya.
Kalau teori Freud benar, maka seluruh kebutuhan pada masa kanak-kanak itu bersifat fisik. Tidak ada kebutuhan ruhaniah sedikitpun.
Kebutuhan kita ini berkembang. Semakin dewasa, semakin abstraklah kebutuhan kita. Pada orang-orang tertentu, kepribadiannya itu terhambat dan tidak bisa berkembang. Hambatan kepribadian itu disebut fiksasi. Misalnya, ada orang yang terhambat pada pemenuhan kebutuhan oral saja. Walaupun sudah dewasa, dia hanya memperoleh kenikmatan pada makan dan minum saja. Perbedaannya, dia mengubah makan dan minum itu dalam bentuk simbol, misalnya dalam bentuk pemilikan kekayaan.
Saya pernah diwawancarai sebuah radio di Jakarta. Saya ditanya tentang relevansi puasa dalam kehidupan modern. Saya menjawabnya dengan merujuk kepada teori Freud. Orang-orang modern, dalam pandangan Freud, adalah orang-orang yang sakit jiwa. Mereka adalah orang-orang yang terhambat dalam perkembangan kepribadiannya. Mereka hanya mengejar kenikmatan dalam makan dan minum saja. Atau, paling tidak mereka terhambat pada tingkat genital. Mereka seperti anak-anak, masih mencari kenikmatan dalam mempermainkan alat kelaminnya.
Lembaga-lembaga modern dibuat untuk memenuhi kebutuhan itu: makan, minum, dan seks. Bisnis makanan sampai sekarang adalah sektor usaha yang paling banyak menyedot uang. Saya dengar aset bulanan suatu restoran fast food di Indonesia mencapai puluhan milyar rupiah. Jadi, puluhan milyar rupiah dikeluarkan oleh orang Indonesia, hanya untuk membeli sepotong burger saja. Rata-rata orang Indonesia mengeluarkan lebih dari 75% dai penghasilannya untuk makan dan minum.
Orang-orang modern adalah orang yang kerjanya menumpuk kekayaan. Ia akan memperoleh kenikmatan dengan melihat banyaknya kekayaan yang dimilikinya.
Saya ingin memberikan contoh sederhana. Dulu, di salah satu kampung yang bertetangga dengan kampung saya, ada seorang ibu yang dikenal sebagai orang kaya (kaya dalam ukuran kampung). Tetapi sehari-hari dia hanya makan dengan nasi yang amat sedikit. Lauk pauknyapun ia cari sendiri dengan merendam dirinya di sungai untuk memperoleh ikan. Pakaian yang biasa dipakainya pun sangat sederhana. Ketika ia meninggal dunia, lemarinya dibuka. Ajaib, lemari itu penuh dengan pakaian yang bagus-bagus. Orang tidak pernah melihat ia memakai pakaian-pakaian itu. Semua orang kampung kebingungan. Bagi saya, ibu itu adalah contoh orang menderita sepanjang hidupnya. Kenikmatan yang ia peroleh tidak dalam mempergunakan seluruh harta dan barangnya. Ia memperoleh kenikmatan ketika ia membuka lemari dan memandang hartanya itu seraya berkata pada dirinya, “Semua ini milikku”.
Orang kota juga banyak yang seperti itu. Mereka memperoleh kenikmatan dalam membaca laporan depositonya di bank. Kalau dia ingat, dia membuka lemari dan menyibak lembaran-lembaran depositonya. Ia tidak ingin menggunakan depositonya karena takut jumlah uang itu akan berkurang. Ada juga orang yang membeli barang berharga dan memperoleh kenikmatan dengan melihat tumpukan barang-barang itu.
Menurut Sigmund Freud, orang yang seperti itu tertahan dalam tahap yang kedua, yaitu tahap kenikmatan melihat kotoran. Penumpukan kekayaan yang dibeli dengan pengeluaran itu sebetulnya adalah pemuliaan atau sublimasi dari kenikmatan melihat kotoran. Freud juga memandang bahwa kekayaan-kekayaan yang ditumpuk itu adalah kotoran. Manusia yang senang menumpuk kekayaan - menurut Freud - terhambat pada periode anal.
Pada sisi lain, manusia yang tidak mengalami fiksasi akan memasuki tahap kebutuhan yang lebih abstrak misalnya kebutuhan intelektual, kebutuhan akan ilmu pengetahuan dan informasi. Ia akan memperoleh kenikmatan dalam mengumpulkan informasi, atau menyampaikannya. Informasi itu sesuatu yang abstrak.
Abraham Maslow membuat piramida kebutuhan manusia. Semakin tinggi bagian piramida, semakin abstrak pula kebutuhannya. Pada tingkat yang paling bawah, manusia hanya memenuhi kebutuhan makan dan minum saja. Ia hanya memuaskan kebutuhan biologisnya saja. Bila kebutuhan biologis itu sudah terpenuhi, kebutuhannya akan naik pada tingkat yang selanjutnya. Kebutuhan di atasnya adalah kebutuhan akan kasih sayang, ketentraman dan rasa aman. Lebih atas lagi adalah kebutuhan akan perhatian dan pengakuan. Lebih tinggi dari itu adalah kebutuhan akan self-actualisation atau aktualisasi diri.
Di dalam Islam, hal itu disebut kebutuhan akan al-takamul al-ruhani, proses penyempurnaan spiritual. Itulah tingkat yang paling tinggi dalam kebutuhan manusia.
Dari uraian yang panjang ini, kita bisa menyimpulkan : semakin dewasa seseorang, semakin abstrak kebutuhannya. Kebutuhan yang paling tinggi ialah orang ketika orang berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan ruhaniahnya bukan kebutuhan-kebutuhan jasmaniahnya. Itulah orang yang sudah sangat dewasa.
Di bulan Ramadhan sebenarnya kita dilatih untuk mengembangkan kepribadian kita. Kita meninggalkan tingkat oral, anal dan genital untuk mikraj ke tingkat ruhaniah yang lebih tinggi. Pada siang hari di bulan puasa, kita berlatih untuk meninggalkan masa kanak-kanak kita. Periode Oral kita dikekang dengan tidak makan dan minum. Kitapun mencoba untuk meninggalkan tahap genital dengan meninggalkan nafsu seks kita pada waktu kita berpuasa. Pada bulan Ramadhan, kita belajar menjadi dewasa. Di bulan ini, kita berusaha memenuhi kebutuhan ruhaniah kita. Kita berusaha menanggalkan keterikatan pada tubuh kita dan mulai memperhatikan kebutuhan ruh kita. Kita adalah gabungan antara ruh dan tubuh, tapi dalam kenyataan sehari-hari kita terikat sekali dengan tubuh kita.
Seseorang yang sudah sampai pada tingkat yang keterikatan pada ruhnya lebih besar daripada keterikatan pada tubuhnya, akan mampu untuk mengendalikan tubuhnya sendiri. Orang yang sangat terikat dengan tubuh, akan mudah sekali dipengaruhi oleh perubahan cuaca. Dia bisa kedinginan kalau suhu udara turun. Dia bisa kegerahan kalau suhu udara naik. Sedangkan orang yang sudah lebih terikat kepada ruh, akan bisa mencipta. Dia bisa membuat tubuhnya hangat ketika udara amat dingin.
Menurut Murthadha Muthahhari, salah satu tahap dalam wilayah atau kewalian seseorang adalah tahap ketika sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya. Dia tidak akan marah ketika seharusnya marah. Dia tidak ingin membalas dendam ketika semestinya ia membalas dendam. Dia tidak sakit hati ketika orang menyakiti hatinya. Nafsunya sudah terkendalikan.
Menahan makan dan minum serta menahan diri dari perbuatan zina sudah termasuk tingkat wilayah yang paling awal. Jadi, pada saat bulan puasa, insya Allah, kita akan menjadi wali-wali Allah pada tingkat yang paling elementer.
Jika orang sudah berhasil mengendalikan seluruh hawa nafsunya, dia akan naik kepada wilayah yang kedua, yaitu ketika ruhnya sudah bisa mengendalikan tubuhnya. Tingkat ketiga, ialah ketika ruhnya sudah bisa mengendalikan gerakan alam sekelilingnya. Kalau ia menyatakan sesuatu itu jadi, maka terjadilah sesuatu itu. Kalau ia meminta supaya pohon itu berbunga maka berbungalah pohon itu. Dari dirinya memancar sesuatu yang menggerakkan dan menggoncangkan seluruh molekul di sekitarnya.
Menurut Muhammad Iqbal, orang seperti itu adalah orang yang sudah bisa menentukan takdirnya. “Kembangkan dirimu begitu rupa kata Iqbal, “sehingga Allah akan menetapkan takdirnya, Dia akan berkonsultasi dulu denganmu.” Kalau Allah akan mematikan kamu, Dia akan bertanya dulu : Apakah kamu akan mati sekarang atau nanti. Orang seperti ini sudah mencapai tingkat kewalian yang ketiga. Ketika dia bisa menentukan takdir, menggenggam takdir ditangannya, dan tidak lagi tunduk pada takdir. Bahkan, Allah menentukan takdirnya dengan berkonsultasi terlebih dahulu kepadanya. Bayangkanlah !
Bulan puasa adalah bulan ketika kita - paling tidak- diantarkan untuk mengendalikan hawa nafsu. Lalu bagaimana jika di bulan Puasa ada orang yang berhasil mengendalikan makan, minum dan seksnya tetapi tidak bisa mengendalikan hawa nafsunya ? Itu berarti orang itu tidak masuk ke tingkat wali yang paling elementer sekalipun. Orang seperti ini tidak makan dan minum tapi mudah tersinggung. Ia mudah marah dan mencaci maki orang lain. Ia tidak bisa mengendalikan mulutnya.
Hadis Qudsi tentang puasa. Bagaimana kita meningkatkan tingkat kewalian atau wilayah kita ini ? Kita dapat berpedoman pada hadis-hadis qudsi. Hadis qudsi adalah petunjuk Allah bagi yang ingin mendekatiNya. Dengan latar belakang psikologis pada awal tadi, saya akan mengantarkan anda kepada hadis-hadis Qudsi yang membimbing kita dalam menjalankan ibadah puasa.
Dalam satu hadis qudsi, Allah SWT berfirman : “Demi keagungan-Ku, kebesaran-Ku, kemuliaan-Ku, cahaya-Ku, ketinggian-Ku dan ketinggian kedudukan-Ku, tidaklah seorang hamba mendahulukan kehendaknya di atas kehendak-Ku kecuali Aku cerai beraikan urusannya, Aku kacaukan dunianya, aku sibukkan hatinya dengan dunianya. Dan dunia tidak mendatanginya kecuali yang sudah Aku tentukan baginya. Demi keagungan-Ku dan ketinggian kedudukan-Ku, tidaklah seorang hamba mendahulukan kehendak-Ku di atas kehendaknya kecuali akan Aku perintahkan pada malaikat untuk menjaganya. Aku akan jaminkan langit dan bumi rezekinya. Aku akan menyertai setiap usaha yang dilakukannya. Dan dunia akan datang sambil merendahkan diri kepadanya.”
Dalam hadis di atas, Tuhan menjelaskan kepada kita salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Cara itu adalah dengan menempatkan kehendak Allah di atas kehendak kita sendiri.
Ada dua golongan manusia. Pertama, golongan manusia yang mendahulukan kehendaknya di atas kehendak Allah. Kedua, golongan manusia yang mendahulukan kehendak Allah di atas kehendaknya.Orang yang berpuasa termasuk ke dalam golongan kedua. Ia menempatkan kehendak Tuhan di atas kehendaknya sendiri. Ketika siang hari, keinginannya adalah makan dan minum, dan keinginan Allah adalah supaya ia tidak makan dan minum. Orang berpuasa akan mengutamakan keinginan Allah. Meskipun lapar, ia tidak akan penuhi keinginannya.
Pada saat yang sama, ketika kita lapar, umumnya kita mudah sekali tersinggung. Kalau kita diganggu orang, kita ingin sekali untuk marah. Namun, Allah menghendaki kita di bulan Ramadhan untuk mengekang amarah kita. Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang mengendalikan marahnya di bulan Ramadhan, Allah akan menahan murkaNya pada hari kiamat nanti.” Kita menahan amarah kita demi memenuhi kehendak Allah.
Sebetulnya setiap hari kita dihadapkan pada 2 pilihan ini : Apakah akan memenuhi kehendak Allah atau memenuhi kehendak diri kita sendiri. Allah berkehendak agar kita mencari nafkah yang halal untuk membiayai keluarga kita. Bila kita memiliki kelebihan harta, Allah berkehendak agar kelebihan itu dibagikan kepada hamba-hambaNya. Tapi jika kita mempunyai kelebihan rezeki, kehendak kita adalah memakai kelebihan itu untuk memenuhi keperluan konsumtif kita. Kita tumpuk makanan berlebih untuk kita santap ketika berbuka puasa. Seakan suatu kompensasi akan ketidak-makanan dan ketidak-minuman kita di siang hari. Pada bulan puasa ini, kita kesampingkan kehendak kita. Kita utamakan kehendak Allah swt. Kita penuhi juga kehendak Allah itu dengan bersedekah sebanyak-banyaknya kepada fakir miskin dan mustadh’afin. Itulah puncak perkembangan kejiwaan manusia.
Dikutip dari: Madrasah Ruhani oleh K.H. Dr. Jalaluddin Rakhmat M.A.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar