Puasa Gaya Sufi
Drs. Syamsuri, MA. – Tim Penulis Ensiklopedi Tasawuf
Selama ini banyak orang yang berpuasa tetapi tidak berbekas. Sebab menurut dosen sekaligus Ketua Jurusan Aqidah Filsafat & Pemikiran Politik Islam pada UIN Jakarta ini, mereka tidak memenuhi kriteria puasa secara sufistik. Apa saja kriteria puasa secara sufistik itu? Berikut petikan wawancara Sufi dengan kandidiat doktor yang tengah menyelesaikan penelitian disertasi tentang Tasawuf Seyyed Hossein Nasr pada Pascasarjana UIN Jakarta ini.
Sejauh yang anda ketahui bagaimana pandangan kaum sufi pada umumnya mengenai hakikat ibadah, terutama ibadah puasa?
Pertama-tama, ibadah apapun bagi kaum sufi secara umum bisa dikerangkakan ke dalam tiga langkah atau tahapan, yaitu takhalli, tahalli dan tajalli. Takhalli secara bahasa berarti mengosongkan, dalam terminologi tasawuf berarti membersihkan diri dari berbagai dosa yang mengotori jiwa, baik dari dosa lahir maupun dari dosa batin, atau istilah al-Ghazali itu penyakit hati. Yang dimaksud dosa lahir di sini adalah setiap perbuatan dosa yang melibatkan aspek fisik atau badan jasmani kita. Contohnya seperti membunuh, berzina, merampok, mencuri, mabuk-mabukan, menyalahgunakan narkoba dan sebagainya. Adapun yang termasuk dosa batin atau dosa yang timbul dari aktivitas hati antara lain berdusta, menghina orang lain, memfitnah, ghibah, dendam, iri, dengki, riya, ujub, takabur dan sebagainya.
Adapun tahalli secara bahasa berarti menempatkan atau mengisi. Dalam dunia tasawuf berarti mengisi atau menghiasi diri dengan berbagai amal saleh, baik amalan lahir maupun amalan batin. Atau kalau lebih dalam lagi, berarti menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji dengan “meniru” akhlak atau sifat-sifat Allah serta meneladani akhlak Rasul Allah. Dalam kaitan ini misalnya ada hadits yang sudah cukup populer karena sering dikutip, takhallaqu bi akhlaqillah. Mengenai keteladanan Rasul ada ayat, laqad kana lakum fi rasullillah uswatun hasanah.
Sedangkan tajalli merupakan hasil atau buah dari dua langkah sebelumnya, takhalli dan tahalli, yang berupa tersingkapnya selubung atau hijab yang menghalangi seorang manusia dengan Tuhan, sehingga ia benar-benar dekat dengan Allah, sudah benar-benar merasakan kehadiran Allah secara intens. Bahkan pengalaman spiritual yang lebih intens lagi melalui proses tajalli ini adalah bersanding, bahkan bersatu dengan-Nya.
Lalu mengapa manusia itu dapat terjebak pada perbuatan dosa?
Jadi begini! Dalam pandangan kaum sufi, kualitas ruhani manusia itu pada dasarnya adalah suci, dalam istilah agama disebut fitrah, karena memang ia bersumber dari Allah SWT langsung. Nabi sendiri pernah bersabda: “Setiap (bayi) yang dilahirkan pada mulanya bersifat suci (fitrah), kedua orangtuanya lah yang menyebabkan dia menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” Jadi kualitas ruhani manusia itu sebermulanya laksana kaca yang sangat bening, yang dapat menerima dan memantulkan kembali dengan sempurna setiap cahaya yang datang. Demikian halnya jiwa yang suci dapat menerima dengan sempurna cahaya kebenaran (hidayah) dari Tuhan untuk kemudian memantulkannya kembali dengan sempurna dalam bentuk akhlaq al-karimah.
Kaitannya dengan takhalli?
Seperti ibadah-ibadah lainnya, puasa bagi kaum sufi adalah sebagai sarana atau media untuk melakukan takhalli, tahalli, dan pada akhirnya mencapai tajalli. Bahkan, dibanding dengan ibadah-ibadah lainnya, puasa merupakan media atau sarana yang paling lengkap untuk melakukan ketiga langkah tersebut.
Jadi makna puasa secara sufistik itu?
Puasa, secara bahasa berarti imsak (menahan, menghentikan, atau mengendalikan). Dalam dunia tasawuf, yang dimaksud puasa adalah menahan atau mengendalikan hawa nafsu, yang kalau ia tidak terkendali akan menjadi sumber dan penyebab terjadinya berbagai dosa dan kejahatan, baik dosa lahir maupun dosa batin yang dapat mengotori dan merusak kesucian jiwa. Jadi lingkup hawa nafsu di sini bukan cuma mengekang nafsu makan dan nafsu seksual saja. Pengendalian nafsu yang merupakan inti dari puasa itu dengan sendirinya dapat menghindarkan manusia dari segala dosa, yang dalam istilah tasawuf disebut dengan takhalli tadi!
Berarti harus bertakhalli?
Ya! Sebab orang yang berpuasa tetapi masih juga melakukan berbagai dosa, baik dosa lahir maupun dosa batin, berarti dia tidak mampu mengendalikan nafsu, dan karena itu puasa yang dilakukannya tidak bernilai sama sekali. Dalam sebuah hadits diriwayatkan, pada bulan Ramadan ada seorang wanita mencaci maki pembantunya. Ketika Rasalullah mengetahui kejadian tersebut, beliau menyuruh seseorang untuk membawa makanan dan memanggil wanita itu, lalu Rasulullah bersabda, “makanlah makanan ini”. Wanita itu menjawab, “saya ini sedang berpuasa ya Rasulullah.” Rasululah bersabda lagi, “Bagaimana mungkin kamu berpuasa padahal kamu mencaci-maki pembantumu. Sesunguhnya puasa adalah sebagai penghalang bagi kamu untuk tidak berbuat hal-hal yang tercela. Betapa banyaknya orang yang berpuasa, dan betapa banyaknya orang yang kelaparan.”
Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa orang yang hanya menahan lapar dan dahaga saja, tetapi tidak sanggup mewujudkan pesan moral di balik ibadah puasa itu, yaitu berupa takhalli dari dosa lahir dan batin, maka puasanya itu tidak lebih dari sekedar orang-orang yang lapar saja. Hal ini sesuai juga dengan hadits Nabi yang lain, “Banyak sekali orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga.”
Lalu apa kriteria kedua?
Yaitu harus menempuh proses tahalli! Jadi puasa juga melatih orang untuk bertahalli, yakni mengisi dan memenuhi jiwa dengan berbagai perbuatan dan akhlak yang baik. Karena itu, walaupun tidur orang yang berpuasa masih dinilai ibadat, dia juga disunnahkan untuk banyak-banyak melakukan ibadat, seperti salat malam atau qiyam al-lail dengan tarawih dan tahajjud, membaca al-Qur’an, yakni tadarrus dan tadabbur, i’tikaf di masjid, banyak berzikir dan berdoa, banyak bersedekah, menolong orang yang kelaparan dan kesusahan, dan berbagai amal saleh lainnya.
Puasa juga selalu dikaitkan dengan taqwa?
Tujuan utama puasa sesuai dengan penjelasan al-Qur’an adalah untuk mencetak manusia bertaqwa, yang memiliki karakteristik antara lain: beriman pada yang gaib, menegakkan salat, berinfak, beriman pada al-Quran dan kitab-kitab sebelumnya, yakin akan terjadinya akhirat, mendapat hidayah dan selalu memperoleh kemenangan atau kebahagiaan. Atau adalam rumusan lain memiliki sifat dermawan, mampu mengendalikan emosi, pemaaf, mawas diri (selalu instrospeksi diri) dan selalu berbuat baik (produktif).
Orang taqwa juga selalu menegakkan salat dalam arti selalu memenuhi aktifitas hidup dan jiwanya dengan berbagai macam ibadat, membaca ayat Allah, zikir, doa dan amal saleh lainnya baik berupa lahir maupun batin. Orang yang menegakkan shalat juga selalu terhindar dari segala macam dosa dan maksia, karena salat akan menjadi penjegah orang taqwa dari segala perbuatan dan akhlak yang keji dan munkar.
Orang taqwa juga bersifat dermawan, memiliki kepekaan atau solidaritas sosial yang tinggi, sehingga ia selalu menolong orang yang lemah, menggunakan segala kekuasaan dan kekayaannya untuk menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan bersama, tidak bersifat rakus, tamak, egois dan individualis.
Orang taqwa juga mampu mengendalikan emosi, dia akan tetap berpikir dingin dan jernih meskipun dalam kondisi terjepit atau terpepet; dia akan tetap dapat berbuat adil meskipun terhadap musuh atau orang yang dibencinya. Dia juga akan selalu bersifat lapang dada, menerima dan memaafkan kesalahan orang lain meskipun itu sangat menyakitkan.
Orang taqwa juga selalu mawas diri, senantiasa menerima kritikkan orang lain demi kebaikan, karena itu ia selalu berskap inklusif, terbuka dan selalu menghargai pendapat dan informasi orang lain, meskipun hal itu berbeda atau bertentangan dengan pendapatnya.
Orang taqwa juga yakin pada akhirat, dalam arti selalu berorientasi masa depan, tidak mengejar keseanangan dan kebahagiaan sesaat yang menipu, menghargai waktu, selalu bersikap produktif inovatif, hemat dalam menggunakan energi dan fasilitas, tidak bermewah-mewah apalagi memamerkan kekayaan, hidup sederhana.
Bagaimana pandangan kaum sufi mengenai malam lailatul qadar?
Malam Qadr, malam yang ditentukan, malam yang istimewa, yang juga disebut malam penuh berkah itu, dalam terminologi tasawuf digunakan untuk menggambarkan kondisi puncak spiritual Nabi Muhammad SAW, yakni pencapaian tajalli, tersingkapnya hijab atau dinding yang menghalangi beliau dengan Tuhannya. Karena itu al-Qur’an menggambarkanya sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan. Malam di mana Malaikat Jibril mewakili Tuhan bertanazzul ke dalam jiwa Nabi Muhammad, menerima wahyu berupa al-Qur’an, dengan izin Allah, dan membawa kedamaian, keselamatan dan kebahagian sampai terbit fajar.
Rasulullah mencapai tajalli, yang digambarkan dengan lailat al-qadr, setelah beliau menjalani tahapan takhalli dan tajalli dengan tahannuts di gua Hira dan ibadah puasa. Malaikat (yang mewakili Allah) bertanazzul pada malam itu, dapat diartikan Nabi Muhammad telah berhasil mendekati Allah, bersanding bahkan bersatu dengan-Nya. Segala sifat-sifat atau nilai-nilai ketuhanan telah merasuk atau mengalami internalisasi dalam jiwa Nabi Muhammad. Nabi Muhammad juga memperoleh pencerahan berupa wahyu al-Qur’an, sebagai anugerah Allah, yang berfungsi sebagai pedoman dan petunjuk dalam mengarungi hidup dan kehidupan, yang akan mengantar umat manusia pada kedamaian, keselamatan dan kebahagiaan; dan akan membawa fajar kehidupan baru yang lebih baik seribu kali lipat dibandingkan kondisi kehidupan umat manusia sebelumnya.
Bagaimana dengan lailatur qadar bagi umat Islam pada umumnya?
Orang yang mengikuti langkah Nabi Muhammad bertakhalli dan tahalli dengan ibadah puasa juga akan berhasil mencapai tajalli, memperoleh lailat al-qadr, walaupun kualitasnya tidak sama dengan yang dicapai oleh Nabi Muhammad sendiri. Ia bisa mendapat tanazzul, bersanding dan bersatu dengan Tuhan, menyerap sifat-sifat, nilai-nilai dan cahaya ketuhanan; memperoleh pencerahan berupa ilham dan inspirasi kebaikan; memantulkan kembali sifat-sifat dan nilai-nilai ketuhanan dengan membawa kedamaian, keselamatan dan kebahagiaan bagi diri dan masyarakat.
Pendeknya, orang yang mencapai lailat al-qadr akan mengalami revolusi spiritual, ia memiliki kualitas jiwa yang jauh lebih baik dibandingkan manusia lainnya. Namun demikian, kualitas tajalli atau lailat al-qadr yang akan dicapai tiap orang yang berpuasa itu akan berbeda-beda, demikian juga waktu pencapaiannya, tergantung pada intensitas dan kegigihan masing-masing dalam melakukan takhalli dan tahalli dengan atau selama menjalani puasanya itu. Karena itu, bisa jadi ada yang berhasil menjumpai lailat al-qadr pada tanggal 21, 23, 25, 27 atau 29 Ramadan. Inilah yang dimaksud bahwa lailat al-qadr akan datang pada tanggal-tanggal ganjil sepertiga terakhir bulan Ramadan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar