Kita Saat Ini Adalah Raja
Ada satu negeri yang sangat aman, rakyatnya makmur dan sentosa. Hal ini karena negeri itu diperintah oleh seorang Raja yang adil dan bijak. Raja ini selalu memperhatikan dan mementingkan kesejahteraan rakyatnya.
Suatu malam Sang Raja ingin keliling negeri melihat langsung kondisi rakyatnya. Dengan ditemani beberapa orang menteri dan pembantunya. Sang Raja secara diam-diam pergi keliling negeri. Di suatu rumah Sang Raja mendengar rintihan seorang pemuda yang kelaparan. Si Ibu dengan suara lemah mengatakan kepada anaknya bahwa dia sudah tidak memiliki lagi persediaan makanan.
Sang raja mendengar itu dan langsung bertanya kepada menterinya, bagaimana hal ini
bisa terjadi? Setelah berunding, mereka sepakat untuk secara diam-diam membawa sang anak ke istana malam itu juga dan mengangkatnya menjadi raja selama sehari.
Setelah si pemuda itu tertidur, secara diam-diam para ponggawa membawanya ke istana tanpa sepengetahuan siapapun.
Di istana si pemuda itu ditidurkan dalam kamar tidur yang besar dan mewah. Pagi harinya ketika terbangun, dia terheran-heran. Beberapa pembantu istana menjelaskan bahwa dia saat ini di istana kerajaan dan diangkat menjadi raja. Para pembantu istana sibuk melayaninya.
Sementara itu di tempat terpisah si ibu kebingungan dan cemas karena kehilangan anaknya. Dicarinya kemana-mana tapi sang anak pujaan hati tetap tak ditemukannya.
Siang harinya sambil menangis bercucuran air mata si ibu pergi ke istana raja untuk meminta bantuan. Namun di gerbang istana si ibu tertahan oleh para penjaga istana.
Penjaga memberi tahu raja barunya bahwa di luar istana ada seorang ibu tua lusuh dan
kelaparan. Raja kemudian memerintahkan untuk memberi sedekah satu karung beras kepada ibu tua tersebut.
Malam harinya sang raja tidur kembali di kamarnya yang megah dan mewah. Tengah malam secara ponggawa istana secara diam-diam memindahkan kemballi pemuda yang sedang tidur lelap itu ke rumah ibunya. Esok pagi si ibu sangat gembira karena telah menemukan kembali anaknya yang hilang kemarin. Sebaliknya si Pemuda heran kenapa dia ada di rumahnya kembali. Si ibu bercerita bahwa kemarin dia mencarinya kesana-kemari hingga pergi ke istana untuk minta bantuan, dan pulangnya dia diberi oleh raja sekarung beras. Si Anak segera menyadari bahwa dia kemarin yang memberi sekarung beras itu. Kemudian bergegas dia pergi ke istana dan menghadap raja, minta diangkat kembali menjadi raja.
Sang raja menolak. Si Pemuda tetap memohon, bahkan kalau perlu diangkat menjadi raja setengah hari saja. Jika dia menjadi raja, dia ingin mengirim beras ke ibunya lebih banyak lagi, tidak hanya sekarung seperti kemarin. Sang raja tetap menolak permohonan pemuda itu. Sambil menghiba-hiba pemuda itu minta hanya sejam saja bahkan beberapa menit saja. Sang raja tetap menolak dengan alasan waktumu menjadi raja sudah habis. Dengan perasaan sangat menyesal dan menangis si pemuda pulang kembali ke rumah gubuknya dan melihat hanya ada sekarung beras di rumahnya, yang sebentar lagi juga habis dimakan mereka berdua.
Dia sangat menyesal mengapa waktu dia menjadi raja tidak mengirim beras banyak-banyak ke ibunya itu. Kini kesempatan itu telah hilang dan tak akan kembali. Itulah tamsil penyesalan di akhirat bagi kita yang amalnya sedikit ketika hidup di dunia. Bukankah kita saat ini masih hidup di dunia? Yes… karena itu, jangan sia-siakan kesempatan ini.
Kita saat ini adalah raja…
Kamis, 20 Oktober 2011
Kamis, 18 Agustus 2011
Membangun Generasi Qurani
Friday, 02 May 2008 08:02
Mimbar Jumat
Sebagaimana menurut Mufassir kenamaan Manna Khalil Qattân, bahwa Al Quran adalah firman Allah SWT. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. (Refleksi Menyongsong MTQ Tingkat PT se-Sumut Di UNIVA Medan)
WASPADA Online
H.M. Nasir, Lc., MA
Agusman Damanik, MA
Sebagaimana menurut Mufassir kenamaan Manna Khalil Qattân, bahwa Al Quran adalah firman Allah SWT. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. dengan berbahasa Arab, tidak ada keraguan padanya, bernilai ibadah dalam membacanya. Dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas. Pengertian tentang Al Quran yang dikemukakan oleh Manna Khalil Qattân tersebut, merupakan bentuk penyadaran kepada seluruh umat Islam untuk lebih memahami eksistensi Al Quran di era globalisasi. Era globalisasi yang ditandai dengan era perubahan, kemajuan maupun persaingan telah menghantarkan manusia untuk bersaing di alam arena peningkatan kualitas, loyalitas dan moralitas.
Namun sangat disayangkan, kebanyakan manusia, khususnya umat Islam yang terlibat dalam persaingan tidak berpedoman dengan kitab suci yang telah memuat berbagai strategi pemenangan baik dari aspek teologi sosial, politik, ekonomi dan sebagainya. Sehingga mereka mengalami kekalahan yang ironi dan menyedihkan. Dikatakan ironi dan menyedihkan (Yahudi dan nasrani) sebab lawan persaingannya menggunakan strategi yang bersumber dari rujukan representatif dan dapat dipertanggung jawabkan yaitu Al Qur’anul Karim dibanding kitab-kitab suci yang lain. Pernyataan penulis di atas merupakan renungan bagi kita untuk bergerak bersama membangun generasi Qurani, dengan kata lain, mari kita bangun dari keterninaboboan yang selalu bangga dengan berbagai mimpi tentang kebesaran dan kesombongan menuju “rumah idaman” yang disinari dengan nilai-nilai Al Quran. Adapun cara terbaik membangun generasi Qurani dengan menggunakan rumus 4 M + 1 A yaitu membaca, menghayati, mengamalkan, dan membumikan Al Quran.
Pertama, Membaca
Membaca Al Qur’an memiliki nilai ibadah atau dapat menambah pahala bagi setiap pribadi seorang muslim, yang selalu mencari keridhaan Allah SWT. (Yabtaghmna Fadlan minallâh wa ridhwanâ). Namun untuk meraih tambahan pahala tersebut, seorang muslim harus mampu membaca Al Quran dengan baik dan lebih baik membaca Al Quran dengan baik dimaksud bahwa seorang muslim harus bisa membaca Al Quran minimal sesuai standard metode Iqra’ yang paling dasar (Iqra’ 1, 2, 3, dan 4). Sedangkan maksud membaca Al Quran yang lebih baik, membaca Al Quran dengan menggunakan metode Tajwid bahkan ditambah penggunaan lagu Al Quran sesuai standard penilaian MTQ (lagu Bayati, Soba, Hijaz, Ras, Nahawand, Sika, Ziharkah) dan lain sebagainya.
Terkait dengan pahala yang diperoleh seseorang ketika membaca Al Quran, Nabi Muhammad SAW. bersabda: “Barang siapa yang membaca Al Quran, maka baginya sepuluh kebaikan, bukan “Çáã” adalah satu huruf, tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf dan Mim satu huruf. Hadits Nabi di atas, membedakan motivasi konstruktif bagi setiap muslim untuk lebih memperbanyak membaca Al Quran, selain bernilai ibadah, juga dapat menjadi obat penawar bagi hati seorang muslim yang dirundung kegelisahan menghadapi problematika kehidupan. Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an surat alIsra’ ayat 82 : “Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.”
Kedua, Menghayati
Menghayati dapat diartikan memahami makna terdalam dari Al Quran. Dimulai dari mengetahui arti ayat yang dibaca, kemudian memahami isi kandungannya. Dengan mengetahui arti ayat yang dibaca, maka seseorang akan membaca dengan penuh kekhusu’an. Sebab ia terhanyut dan terikut dalam rangkaian arti ayat-ayat Al Quran tersebut. Pada akhirnya, menghantarkan seseorang untuk menjadikan Al Quran bacaan harian dalam mengisi “ruang rindu” kehidupan. Sebaliknya, seseorang yang tidak mengetahui arti ayat yang sedang dibaca, laksana keledai membawa berbagai bentuk buku-buku di atas punggungnya. (Kalhimâru yahmi asfârôn) namun tetap diberi pahala oleh Allah Swt. Adapun memahami isi kandungan Al Quran mengetahui secara mendasar ilmu tentang Al Quran, baik mengenai ayat-ayat Makkiyah dan Madaniah, asbab alnuzul, al nasikh wal mansukh dan lain sebagainya. Penguasaan keilmuan kita tentang Al Quran akan mengokohkan keyakinan kita tentang kebenaran Al Quran sebagai panduan dalam kehidupan. Namun dalam hal penguasaan ilmu tentang Al Quran dapat dihitung jari jumlahnya, kendatipun demikian paling tidak kita mengetahui arti ayat Al Quran yang kita baca.
Ketiga, Mengamalkan
Nabi Muhammad SAW. tidak saja memerintahkan kepada umatnya untuk membaca dan menghayati Al Quran, lebih dari itu Nabi menyuruh kepada umatnya untuk mengamalkan isi kandungan Al Quran dalam kehidupan. Terkait dengan pengamalan isi kandungan Al Quran, seorang muslim sejati akan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan kekasihnya (Allah) daripada orang lain (selainnya). Dengan demikian, pedagang muslim yang mengamalkan Alquran selalu menjauhi perbuatan curang dan zalim. Pemimpin muslim yang mengamalkan Alquran selalu menjauhi sifat khianat dalam menjalankan agenda pemerintahannya. Bahkan da’i muslim Qurani akan tetap istiqamah untuk tidak berlaku munafiq dalam menyampaikan dakwahnya, sehingga Alquran yang dibaca tidak melaknat si pembaca itu sendiri, Nabi Saw. bersabda : “Betapa banyak pembaca Alquran, sedangkan Alquran itu sendiri melaknatnya”. (Al Hadits).
Keempat, Membumikan
Membumikan Al Quran merupakan integrasi dari membaca, menghayati dan mengamalkan Al Quran. Membumikan berarti adanya kontinuitas untuk mengamalkan sekaligus mensyiarkan Al Quran dalam kehidupan, baik dengan mengadakan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) maupun Musabaqah ‘Amalul Quran (MAQ). Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) sebagai salah satu sarana untuk mensyiarkan Islam dan meningkatkan kualitas pengetahuan generasi muslim tentang Al Quran yang terdiri dari Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ), Musabaqah Fahmil Quran (MFQ), Musabaqah Syarhil Quran (MSQ), Musabah Khattil Quran (MKQ) dan lain sebagainya. Namun musabaqah yang seyogyanya disosialisasikan adalah Musabaqah ‘Amalul Quran) (MAQ), yakni perlombaan untuk mengamalkan Al Quran dalam berbagai aspek kehidupan, baik sosial, budaya, politik, ekonomi maupun teknologi, walaupun selalu dihadapkan dengan pembunuhan dan kurungan budaya.
Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Alquran merupakan subjek sekaligus objek. Alquran merupakan subjek dalam arti dia dapat merobah moralitas manusia dan menghidupkan jiwa yang mati sehingga menjadi generasi Qurani yang didambakan. Alquran merupakan sebagai objek bukan hanya untuk diperlombakan tetapi dia harus dibumikan, dan upaya untuk mencapai ke arah itu paling tidak mengamalkan. Rumus 4 M + 1 A (Membaca, Menghayati, Mengamalkan dan Membumikan Alquran).Wallahua’lam
Penulis : Ketua Panitia MTQ antar Perguruan Tinggi se-Sumut.
Koordinator Bidang Tilawah MTQ antar Perguruan Tinggi se-Sumut.
Mimbar Jumat
Sebagaimana menurut Mufassir kenamaan Manna Khalil Qattân, bahwa Al Quran adalah firman Allah SWT. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. (Refleksi Menyongsong MTQ Tingkat PT se-Sumut Di UNIVA Medan)
WASPADA Online
H.M. Nasir, Lc., MA
Agusman Damanik, MA
Sebagaimana menurut Mufassir kenamaan Manna Khalil Qattân, bahwa Al Quran adalah firman Allah SWT. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. dengan berbahasa Arab, tidak ada keraguan padanya, bernilai ibadah dalam membacanya. Dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas. Pengertian tentang Al Quran yang dikemukakan oleh Manna Khalil Qattân tersebut, merupakan bentuk penyadaran kepada seluruh umat Islam untuk lebih memahami eksistensi Al Quran di era globalisasi. Era globalisasi yang ditandai dengan era perubahan, kemajuan maupun persaingan telah menghantarkan manusia untuk bersaing di alam arena peningkatan kualitas, loyalitas dan moralitas.
Namun sangat disayangkan, kebanyakan manusia, khususnya umat Islam yang terlibat dalam persaingan tidak berpedoman dengan kitab suci yang telah memuat berbagai strategi pemenangan baik dari aspek teologi sosial, politik, ekonomi dan sebagainya. Sehingga mereka mengalami kekalahan yang ironi dan menyedihkan. Dikatakan ironi dan menyedihkan (Yahudi dan nasrani) sebab lawan persaingannya menggunakan strategi yang bersumber dari rujukan representatif dan dapat dipertanggung jawabkan yaitu Al Qur’anul Karim dibanding kitab-kitab suci yang lain. Pernyataan penulis di atas merupakan renungan bagi kita untuk bergerak bersama membangun generasi Qurani, dengan kata lain, mari kita bangun dari keterninaboboan yang selalu bangga dengan berbagai mimpi tentang kebesaran dan kesombongan menuju “rumah idaman” yang disinari dengan nilai-nilai Al Quran. Adapun cara terbaik membangun generasi Qurani dengan menggunakan rumus 4 M + 1 A yaitu membaca, menghayati, mengamalkan, dan membumikan Al Quran.
Pertama, Membaca
Membaca Al Qur’an memiliki nilai ibadah atau dapat menambah pahala bagi setiap pribadi seorang muslim, yang selalu mencari keridhaan Allah SWT. (Yabtaghmna Fadlan minallâh wa ridhwanâ). Namun untuk meraih tambahan pahala tersebut, seorang muslim harus mampu membaca Al Quran dengan baik dan lebih baik membaca Al Quran dengan baik dimaksud bahwa seorang muslim harus bisa membaca Al Quran minimal sesuai standard metode Iqra’ yang paling dasar (Iqra’ 1, 2, 3, dan 4). Sedangkan maksud membaca Al Quran yang lebih baik, membaca Al Quran dengan menggunakan metode Tajwid bahkan ditambah penggunaan lagu Al Quran sesuai standard penilaian MTQ (lagu Bayati, Soba, Hijaz, Ras, Nahawand, Sika, Ziharkah) dan lain sebagainya.
Terkait dengan pahala yang diperoleh seseorang ketika membaca Al Quran, Nabi Muhammad SAW. bersabda: “Barang siapa yang membaca Al Quran, maka baginya sepuluh kebaikan, bukan “Çáã” adalah satu huruf, tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf dan Mim satu huruf. Hadits Nabi di atas, membedakan motivasi konstruktif bagi setiap muslim untuk lebih memperbanyak membaca Al Quran, selain bernilai ibadah, juga dapat menjadi obat penawar bagi hati seorang muslim yang dirundung kegelisahan menghadapi problematika kehidupan. Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an surat alIsra’ ayat 82 : “Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.”
Kedua, Menghayati
Menghayati dapat diartikan memahami makna terdalam dari Al Quran. Dimulai dari mengetahui arti ayat yang dibaca, kemudian memahami isi kandungannya. Dengan mengetahui arti ayat yang dibaca, maka seseorang akan membaca dengan penuh kekhusu’an. Sebab ia terhanyut dan terikut dalam rangkaian arti ayat-ayat Al Quran tersebut. Pada akhirnya, menghantarkan seseorang untuk menjadikan Al Quran bacaan harian dalam mengisi “ruang rindu” kehidupan. Sebaliknya, seseorang yang tidak mengetahui arti ayat yang sedang dibaca, laksana keledai membawa berbagai bentuk buku-buku di atas punggungnya. (Kalhimâru yahmi asfârôn) namun tetap diberi pahala oleh Allah Swt. Adapun memahami isi kandungan Al Quran mengetahui secara mendasar ilmu tentang Al Quran, baik mengenai ayat-ayat Makkiyah dan Madaniah, asbab alnuzul, al nasikh wal mansukh dan lain sebagainya. Penguasaan keilmuan kita tentang Al Quran akan mengokohkan keyakinan kita tentang kebenaran Al Quran sebagai panduan dalam kehidupan. Namun dalam hal penguasaan ilmu tentang Al Quran dapat dihitung jari jumlahnya, kendatipun demikian paling tidak kita mengetahui arti ayat Al Quran yang kita baca.
Ketiga, Mengamalkan
Nabi Muhammad SAW. tidak saja memerintahkan kepada umatnya untuk membaca dan menghayati Al Quran, lebih dari itu Nabi menyuruh kepada umatnya untuk mengamalkan isi kandungan Al Quran dalam kehidupan. Terkait dengan pengamalan isi kandungan Al Quran, seorang muslim sejati akan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan kekasihnya (Allah) daripada orang lain (selainnya). Dengan demikian, pedagang muslim yang mengamalkan Alquran selalu menjauhi perbuatan curang dan zalim. Pemimpin muslim yang mengamalkan Alquran selalu menjauhi sifat khianat dalam menjalankan agenda pemerintahannya. Bahkan da’i muslim Qurani akan tetap istiqamah untuk tidak berlaku munafiq dalam menyampaikan dakwahnya, sehingga Alquran yang dibaca tidak melaknat si pembaca itu sendiri, Nabi Saw. bersabda : “Betapa banyak pembaca Alquran, sedangkan Alquran itu sendiri melaknatnya”. (Al Hadits).
Keempat, Membumikan
Membumikan Al Quran merupakan integrasi dari membaca, menghayati dan mengamalkan Al Quran. Membumikan berarti adanya kontinuitas untuk mengamalkan sekaligus mensyiarkan Al Quran dalam kehidupan, baik dengan mengadakan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) maupun Musabaqah ‘Amalul Quran (MAQ). Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) sebagai salah satu sarana untuk mensyiarkan Islam dan meningkatkan kualitas pengetahuan generasi muslim tentang Al Quran yang terdiri dari Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ), Musabaqah Fahmil Quran (MFQ), Musabaqah Syarhil Quran (MSQ), Musabah Khattil Quran (MKQ) dan lain sebagainya. Namun musabaqah yang seyogyanya disosialisasikan adalah Musabaqah ‘Amalul Quran) (MAQ), yakni perlombaan untuk mengamalkan Al Quran dalam berbagai aspek kehidupan, baik sosial, budaya, politik, ekonomi maupun teknologi, walaupun selalu dihadapkan dengan pembunuhan dan kurungan budaya.
Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Alquran merupakan subjek sekaligus objek. Alquran merupakan subjek dalam arti dia dapat merobah moralitas manusia dan menghidupkan jiwa yang mati sehingga menjadi generasi Qurani yang didambakan. Alquran merupakan sebagai objek bukan hanya untuk diperlombakan tetapi dia harus dibumikan, dan upaya untuk mencapai ke arah itu paling tidak mengamalkan. Rumus 4 M + 1 A (Membaca, Menghayati, Mengamalkan dan Membumikan Alquran).Wallahua’lam
Penulis : Ketua Panitia MTQ antar Perguruan Tinggi se-Sumut.
Koordinator Bidang Tilawah MTQ antar Perguruan Tinggi se-Sumut.
Rabu, 17 Agustus 2011
secuil pengalaman
by Cucu Surahman on Thursday, April 21, 2011 at 3:49pm
Hari ini Leiden memang sangat sempurna. Hampir-hampir aku menyimpulkan inilah surga yang Tuhan janjikan pada masyarakat Arab 14 abad yang lalu itu. Hari ini aku saksikan sungai-sungai/kanal nan bersih mengalir dengan tenang, ku dapatkan bunga-bunga yang berwarna-warni bermekaran, dan ku lihat aneka macam burung dengan riang beterbangan. Hangatnya suasana dan segarnya udara musim semi bertambah sempurna dengan berlalu-lalangnya bidadari nan cantik jelita. Semua ini menambah ingatanku akan surga yang Tuhan gambarkan dalam kitab suci-Nya, yaitu surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai mengalir dan wanita-wanita suci yang selalu siap mendampingi. Aku berpikir, inikah surga yang didambakan para teroris itu dan karena sudah tak tahan tuk mendapatkannya, mereka rela membunuh mereka sendiri.
Dari sini aku juga berpikir, bagaimanakan kiranya bila wahyu Qur’ani itu diturunkan di negeri ini. Aku menduga mungkin bukan sungai-sungai yang digambarkan, tapi mungkin udara hangat seperti hari inilah yang dilukiskan, keadaan yang hanya terjadi di musim-musim tertentu setiap tahunnya. Ahh itu hanya menduga-duga. Tapi memang bagiku surga sejatinya adalah gambaran atas segala sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang indah dan menentramkan.
Percikan-percikan surga itu memang ada di tempat ini. Betapa tidak. Apa-apa yang didambakan bangsa kita dapat ditemukan di sini. Tidak ada hiruk-pikuk dan kemacetan yang biasa aku temukan di ibu kota Jakarta. Kereta api dua tingkat yang gagah, sebagai alat transportasi masal, hari ini telah mengantarkanku ke Denhaag dengan nyaman dan sesuai dengan waktu yang dijadwalkan.
Inilah di antara hal yang membuatku kagum pada negeri ini, tentunya di samping segala macam sistem dan prosedur yang luar biasa. Semoga ini bukan merupakan keterepesonaan seorang pelajar Muslim pada Barat seperti yang biasa dituduhkan kaum fundamentalis kepada orang-orang yang belajar dan mengambil hikmah di sarang para Orientalis. Bagiku ini adalah kenyataan. Di mana bangsa kita memang jauh tertinggal dari bangsa Barat. Aku hanya berharap akan suatu masa di mana Indonesia bisa menjadi bangsa yang makmur dan sejahtera, di mana rakyatnya bisa merasakan hak-haknya sebagai seorang manusia. Mereka bisa makan, minum dan bertempat tinggal secara wajar. Bisa menikmati pola hidup yang baik, fasilitas transportasi yang baik, bisa menyeimbangkan unsur fisik, mental dan spiritualnya. Di samping siap menyongsong kehidupan abadi, juga bisa menikmati kelayakannya di dunia ini.
Aku tidak sedang bicara spiritualitas. Yang ingin aku katakan adalah pola hidup yang sehat. Pola hidup sehat bangsa ini terlihat dari relatif panjangnya masa hidup mereka. Ku saksikan kakek-kakek dan nenek-nenek yang bisa menikmati masa tuanya. Mereka berjalan bergandengan tangan dan duduk di depan kafe menikmati minuman dan makanan kecil di tengah hangatnya belaian mentari. Sungguh damai. Tidak seperti kebanyakan para lansia di negeriku Indonesia yang masih harus tetap bekerja hanya untuk sesuap nasi dan menyambung hidup mereka sehari-hari.
Untuk urusan dunyawi, memang bangsa kita patut belajar dari bangsa ini. Janganlah merasa malu untuk mencontoh mereka. Tanpa meninggalkan agama dan spiritualitas yang kita yakini, kita pasti bisa seperti mereka. Tentu untuk itu kita harus meneladani sikap mulia mereka, seperti kerja keras, kerja cerdas, disiplin, jujur, dan seterusnya, yang sebetulnya merupakan inti ajaran agama kita, tapi mungkin belum bisa kita optimalkan. Memang keadaan mereka adalah bentuk akumulasi antara kesehatan, kecerdasan, dan teknologi. Dengan ini semua mereka tambah jauh meninggalkan kita.
Terkait kerja keras yang cerdas, teman kamarku yang berbangsa Belanda pernah bicara, orang Asia itu rajin dan pekerja keras, sambil menunjuk kepada seorang teman lain yang berasal dari Asia, tapi ia tidak efektif dan efesien. Apa yang dikerjakan orang Asia sebulan dapat kami selesaikan dua minggu saja, kata temanku tadi. Inilah maksud dari kerja keras yang cerdas.Terkait dengan kejujuran, aku juga punya pengalaman. Ketika itu flashdisk-ku ketinggalan di komputer Universitas. Aku sudah menyangka kalau FD ku akan hilang. Setelah aku melihat kenyataan bahwa di komputer yang sebelumnya aku pakai, FD itu telah tiada. Pasrah saja dan tidak terlalu berharap ia akan kutemukan kembali. Seperti kebanyakan kasus di negeriku, biasanya ia akan lenyap. Jangankan FD yang kecil wujudnya [tapi besar nilainya], motor saja raib tak pernah ada kabar. Tapi di negeri ini, ternyata tidak demikian. sehari setelah itu ternyata aku mendapati satu pesan elektronik yang dikirim pihak Kampus yang menyatakan FD anda tertinggal di komputer kampus dan silahkan diambil. Luar biasa.
Inilah secuil pengalamanku di negeri yang katanya dihuni orang-orang kafir [dalam hal agama], yang mengikuti aturan thaguth. Di sini mungkin perlu ditekankan, dalam urusan muamalah, kita harus bekerja sama, saling pinjam, saling beri. Janganlah menutup diri atas kemajuan peradaban bangsa lain. Dan dalam urusan keyakinan, biarkanlah hati kita masing-masing menjaganya. Satu lagi yang perlu dicatat, dalam urusan muamalah, rasionalitas harus menempati posisi yang tinggi, sehingga apapun yang berkaitan dengannya, rasio bisa mengambil peran. Hanya dengan ini, bangsa kita memiliki harapan untuk mengejar ketertinggalan.
20 April 2011
C.S.
Hari ini Leiden memang sangat sempurna. Hampir-hampir aku menyimpulkan inilah surga yang Tuhan janjikan pada masyarakat Arab 14 abad yang lalu itu. Hari ini aku saksikan sungai-sungai/kanal nan bersih mengalir dengan tenang, ku dapatkan bunga-bunga yang berwarna-warni bermekaran, dan ku lihat aneka macam burung dengan riang beterbangan. Hangatnya suasana dan segarnya udara musim semi bertambah sempurna dengan berlalu-lalangnya bidadari nan cantik jelita. Semua ini menambah ingatanku akan surga yang Tuhan gambarkan dalam kitab suci-Nya, yaitu surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai mengalir dan wanita-wanita suci yang selalu siap mendampingi. Aku berpikir, inikah surga yang didambakan para teroris itu dan karena sudah tak tahan tuk mendapatkannya, mereka rela membunuh mereka sendiri.
Dari sini aku juga berpikir, bagaimanakan kiranya bila wahyu Qur’ani itu diturunkan di negeri ini. Aku menduga mungkin bukan sungai-sungai yang digambarkan, tapi mungkin udara hangat seperti hari inilah yang dilukiskan, keadaan yang hanya terjadi di musim-musim tertentu setiap tahunnya. Ahh itu hanya menduga-duga. Tapi memang bagiku surga sejatinya adalah gambaran atas segala sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang indah dan menentramkan.
Percikan-percikan surga itu memang ada di tempat ini. Betapa tidak. Apa-apa yang didambakan bangsa kita dapat ditemukan di sini. Tidak ada hiruk-pikuk dan kemacetan yang biasa aku temukan di ibu kota Jakarta. Kereta api dua tingkat yang gagah, sebagai alat transportasi masal, hari ini telah mengantarkanku ke Denhaag dengan nyaman dan sesuai dengan waktu yang dijadwalkan.
Inilah di antara hal yang membuatku kagum pada negeri ini, tentunya di samping segala macam sistem dan prosedur yang luar biasa. Semoga ini bukan merupakan keterepesonaan seorang pelajar Muslim pada Barat seperti yang biasa dituduhkan kaum fundamentalis kepada orang-orang yang belajar dan mengambil hikmah di sarang para Orientalis. Bagiku ini adalah kenyataan. Di mana bangsa kita memang jauh tertinggal dari bangsa Barat. Aku hanya berharap akan suatu masa di mana Indonesia bisa menjadi bangsa yang makmur dan sejahtera, di mana rakyatnya bisa merasakan hak-haknya sebagai seorang manusia. Mereka bisa makan, minum dan bertempat tinggal secara wajar. Bisa menikmati pola hidup yang baik, fasilitas transportasi yang baik, bisa menyeimbangkan unsur fisik, mental dan spiritualnya. Di samping siap menyongsong kehidupan abadi, juga bisa menikmati kelayakannya di dunia ini.
Aku tidak sedang bicara spiritualitas. Yang ingin aku katakan adalah pola hidup yang sehat. Pola hidup sehat bangsa ini terlihat dari relatif panjangnya masa hidup mereka. Ku saksikan kakek-kakek dan nenek-nenek yang bisa menikmati masa tuanya. Mereka berjalan bergandengan tangan dan duduk di depan kafe menikmati minuman dan makanan kecil di tengah hangatnya belaian mentari. Sungguh damai. Tidak seperti kebanyakan para lansia di negeriku Indonesia yang masih harus tetap bekerja hanya untuk sesuap nasi dan menyambung hidup mereka sehari-hari.
Untuk urusan dunyawi, memang bangsa kita patut belajar dari bangsa ini. Janganlah merasa malu untuk mencontoh mereka. Tanpa meninggalkan agama dan spiritualitas yang kita yakini, kita pasti bisa seperti mereka. Tentu untuk itu kita harus meneladani sikap mulia mereka, seperti kerja keras, kerja cerdas, disiplin, jujur, dan seterusnya, yang sebetulnya merupakan inti ajaran agama kita, tapi mungkin belum bisa kita optimalkan. Memang keadaan mereka adalah bentuk akumulasi antara kesehatan, kecerdasan, dan teknologi. Dengan ini semua mereka tambah jauh meninggalkan kita.
Terkait kerja keras yang cerdas, teman kamarku yang berbangsa Belanda pernah bicara, orang Asia itu rajin dan pekerja keras, sambil menunjuk kepada seorang teman lain yang berasal dari Asia, tapi ia tidak efektif dan efesien. Apa yang dikerjakan orang Asia sebulan dapat kami selesaikan dua minggu saja, kata temanku tadi. Inilah maksud dari kerja keras yang cerdas.Terkait dengan kejujuran, aku juga punya pengalaman. Ketika itu flashdisk-ku ketinggalan di komputer Universitas. Aku sudah menyangka kalau FD ku akan hilang. Setelah aku melihat kenyataan bahwa di komputer yang sebelumnya aku pakai, FD itu telah tiada. Pasrah saja dan tidak terlalu berharap ia akan kutemukan kembali. Seperti kebanyakan kasus di negeriku, biasanya ia akan lenyap. Jangankan FD yang kecil wujudnya [tapi besar nilainya], motor saja raib tak pernah ada kabar. Tapi di negeri ini, ternyata tidak demikian. sehari setelah itu ternyata aku mendapati satu pesan elektronik yang dikirim pihak Kampus yang menyatakan FD anda tertinggal di komputer kampus dan silahkan diambil. Luar biasa.
Inilah secuil pengalamanku di negeri yang katanya dihuni orang-orang kafir [dalam hal agama], yang mengikuti aturan thaguth. Di sini mungkin perlu ditekankan, dalam urusan muamalah, kita harus bekerja sama, saling pinjam, saling beri. Janganlah menutup diri atas kemajuan peradaban bangsa lain. Dan dalam urusan keyakinan, biarkanlah hati kita masing-masing menjaganya. Satu lagi yang perlu dicatat, dalam urusan muamalah, rasionalitas harus menempati posisi yang tinggi, sehingga apapun yang berkaitan dengannya, rasio bisa mengambil peran. Hanya dengan ini, bangsa kita memiliki harapan untuk mengejar ketertinggalan.
20 April 2011
C.S.
Larangan Minum Sambil B'diri
by Cici Fauziah on Sunday, May 15, 2011 at 4:00pm
Mengapa Rasulullah SAW m'larang kita minum smbil b'diri?? T'nyata, secara medis di dlm tubuh manusia ada p'nyaring yg b'nama SFRINGER, saringan itu bisa m'buka ketika kita du2k n m'nutup ketika berdiri, Air yg kita minum belum 100%steril untuk diolah tubuh. Jika kita minum sambil berdiri, air tdk disaring karena SFINGER t'tu2p & jika air yg ga disaring itu langsung masuk ke KANDUNG KEMIH, dapat m'nyebabkan p'nyakit KRISTAL ginjal.. Masya Allah dlm SUNNAH RASULULLAH SAW ada mukjizat & manfaat bgi manusia & dijamin ga ada g merugikan smua printah & larangannya adalah bentuk cinta beliau t'hadap kita..
Mengapa Rasulullah SAW m'larang kita minum smbil b'diri?? T'nyata, secara medis di dlm tubuh manusia ada p'nyaring yg b'nama SFRINGER, saringan itu bisa m'buka ketika kita du2k n m'nutup ketika berdiri, Air yg kita minum belum 100%steril untuk diolah tubuh. Jika kita minum sambil berdiri, air tdk disaring karena SFINGER t'tu2p & jika air yg ga disaring itu langsung masuk ke KANDUNG KEMIH, dapat m'nyebabkan p'nyakit KRISTAL ginjal.. Masya Allah dlm SUNNAH RASULULLAH SAW ada mukjizat & manfaat bgi manusia & dijamin ga ada g merugikan smua printah & larangannya adalah bentuk cinta beliau t'hadap kita..
Menulis Berbasis Otak
by Rochmad Widodo on Friday, May 20, 2011 at 9:18am
Menulis Berbasis Otak
Oleh R.W. Dodo*
Setiap penulis memang unik. Antara penulis satu dengan yang lain mempunyai kekuatan sendiri-sendiri pada kata yang dirangkainya. Ada yang dominan letak kekuatannya pada manis racikan kata yang dibuat, akan tetapi kurang begitu kuat dibagian informasi dan makna. Ada juga yang informasinya sangat kuat, detail dan banyak hal baru, akan tetapi lemah kemasan struktur bahasanya. Dan tak jarang, ada banyak penulis yang mampu segalanya, dari berbagai aspek semua benar-benar bertenaga.
Selain pada titik kekuatan karya, letak keunikan penulis juga ada pada proses berkarya. Tiap penulis mempunyai proses relatif tidak sama dalam menerjemahkan imajinasinya menjadi kata yang bermakna. Bahkan, seorang penulis bisa jadi mempunyai perbedaan gaya pada setiap menulis karya, baik itu terkait pada proses internal kerja otaknya maupun proses eksternal yang menunjangnya dalam berkarya.
“Saya kalau menulis harus berurutan. Kalau ternyata ada yang lupa, maka saya akan langsung cari tahu dulu di google,” begitulah aku beberapa peserta di Writer University menjelaskan bagaimana mereka melakukan proses menulis.
“Saya sih, lebih suka menulis yang saya sudah paham betul. Kalau ternyata yang saya pahami bagian bab 4, ya saya tulis bab 4. Walaupun bab 2 dan 3 belum saya buat. Nanti tidak masalah buat bab 2 dan 3 setelah bab 4 selesai dibuat. Dari pada nanti saya malah lupa,” komentar yang lain.
Bisa jadi para pembaca juga menjadi penulis yang ketika menulis sama seperti salah satu tipe di atas. Atau bahkan mempunyai tipe yang berbeda, gabungan antara keduanya?
Pada dasarnya, sah-sah saja mau menjadi tipe yang mana. Memang tidak ada patokan bahwa jika menggunakan gaya satu di antaranya bisa memastikan karya yang dibuat akan lebih bagus. Atau sebaliknya, jika menggunakan yang lain akan jelek. Dan pada catatan ini, kita tidak akan membahas pada sisi itu. Akan tetapi, akan membahas lebih jauh memahi bagaimana proses otak bekerja saat menulis.
Otak Kanan dan Otak Kiri Penulis
Semua aktifitas kita, tidak akan lepas dari proses kerja otak, termasuk di antaranya menulis. Tetapi, masih jarang sekali penulis memperhatikan pola kerja otaknya ketika berkarya. Memang ketidaktahuan penulis tentang pola kerja otak tidak selalu menjadi penentu kualitas karyanya. Karena justru yang lebih berpengaruh adalah bagaimana bisa memaksimalkan kinerja otaknya. Ya, buktinya banyak penulis yang karyanya hebat, bertenaga, dan best seller, mereka tidak tahu kinerja otak. Walaupun demikian, tentu alangkah lebih baik jika kita tahu kinerja dan bisa memaksimalkannya.
Pada tahun 1960-an, Roger Sperry melakukan sebuah penelitian fungsi otak. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat sebuah perbedaan dua fungsi otak sebelah kiri dan kanan manusia, dan hal tersebut membentuk sifat, karakteristik serta kemampuan yang berbeda pada seseorang.
Roger Sperry menyatakan bahwa, otak kiri berfungsi dalam hal-hal yang berhubungan dengan logika, rasio, kemampuan menulis dan membaca, serta merupakan pusat matematika. Beberapa pakar menyebutkan bahwa otak kiri merupakan pusat Intelligence Quotient (IQ). Sedangkan otak kanan berfungsi dalam perkembangan Emotional Quotient (EQ). Misalnya sosialisasi, komunikasi, interaksi dengan manusia lain serta pengendalian emosi. Pada otak kanan ini pula terletak kemampuan intuitif, kemampuan merasakan, memadukan, dan ekspresi tubuh, seperti menyanyi, menari, melukis dan segala jenis kegiatan kreatif lainnya.
DePorter (2004:36) mengungkapkan bahwa proses berpikir otak kiri bersifat logis, sekuensial, linear, dan rasional. Otak kiri berdasarkan realitas mampu melakukan penafsiran abstrak dan simbolis. Cara berpikir sesuai untuk tugas-tugas teratur, ekspresi verbal, menulis, membaca, asosiasi audiotorial, menempatkan detail dan fakta, fonetik, serta simbolisme. Untuk belahan otak kanan cara berpikirnya bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik. Cara berpikirnya sesuai dengan cara-cara untuk mengetahui yang bersifat nonverbal, seperti perasaan dan emosi, kesadaran yang berkenaan dengan perasaaan (merasakan kehadiran suatu benda atau orang), kesadaran spasial, pengenalan bentuk dan pola, musik, seni, kepekaan warna, kreativitas dan visualisasi.
Jadi, ketika kita menulis pada dasarnya menyinergikan kedua otak kita (kanan dan kiri). Saat kita menulis naskah fiksi, imajinasi kita ada di bagian kerja otak kanan, sedangkan bagian penerjemahan imajinasi ke kata menjadi serangkaian kalimat ada di bagian kerja otak kiri. Seorang penulis yang baik, kedua otaknya akan bersinergi dengan kompak sehingga tulisan yang dihasilkan pun menjadi imajinatif dan bahasa yang terkemas runut juga bernyawa.
Lain halnya bagi beberapa penulis yang belum seimbang antara kinerja kedua otaknya. Sekalipun kinerja otak kanannya bagus, imajinasinya benar-benar unik dan berbeda, tanpa diimbangi dengan otak kiri yang bagus, maka hasil tulisannya pun akan jadi dangkal. Bahkan, jika memaksakan diri untuk menghidupkan solusi dari otak kirinya, bisa jadi kinerja otak kanannya pun juga terhenti.
Pernah mengalami kebingungan memilih kata saat menulis? Lalu, terus memaksakan diri mencari diksi itu dengan berpikir keras dan ternyata setelah itu jadi lupa bagaimana lanjutan ceritanya? Ya, itulah yang saya maksud dengan kasus di atas.
Mungkin teman-teman jadi terbersit pertanyaan, “lalu bagaimana cara menyeimbangkan otak kanan dan kiri kita saat menulis?”
Subconsious Mind (Pikiran Bawah Sadar)
Cara mengisi daftar kata-kata di otak kiri bisa dilakukan dengan membaca, menghafal kosa-kata, mencermati orang berbicara, dan sebagainya. Tapi, hal itu tidak cukup untuk menjadi bekal agar otak kiri kita bisa benar-benar hidup saat menulis dan membantu menerjemahkan keliaran imajinasi kita menjadi kemasan kalimat yang menarik. Karena sejatinya, daya simpan memori otak kiri kita tidaklah sedahsyat yang kita kira. Daya kerja otak kiri kita menurut penelitian kekuatannya tidak lebih hanya bisa digunakan dalam waktu 3 jam. Selebihnya sudah tidak maksimal.
Pernah kalian menghafalkan rumus-rumus matematika, atau arti kata bahasa Inggris di sekolahan dan sesampainya di rumah sudah lupa? Coba diingat, apakah teman-teman masih ingat pelajaran yang sempat kalian hafal di bangku SD, SMP, SMA?
Ya, ada yang masih ingat. Tapi, porsinya sangat kecil sekali. Dan perlu diketahui, pada dasarnya yang diingat itu bukanlah pada taraf kinerja pikiran sadar kita di otak kiri. Tidak lain, itu adalah data ingatan kita yang tersimpan di pikiran bawah sadar.
Pikiran bawah sadar adalah pikiran yang bekerja secara otomatis dan bertahan lama. Adapun pola terbentuknya pikiran bawah sadar kita bekerja bersumber dari repetation (pengulangan), belief (keyakinan), dan impression (kesan). Hafalan yang kita ingat sampai sekarang sejatinya bukanlah karena hafalan kita, tapi biasanya dikarenakan memang sering diulang digunakan dalam keseharian hidup kita, atau kalau tidak begitu karena kita memang benar-benar terkesan yang diakibatkan dari kejadian yang berhubungan dengan hidup kita.
Dalam menulis, akan sangat bagus sekali jika memang dibangun dengan pola pikiran bawah sadar yang bekerja. Jadi, yang menerjemahkan imajinasi tidak hanya sekedar otak kiri, tapi pikiran bawah sadar. Sehingga, kata bisa spontan tertata dengan sendirinya tanpa harus berpikir keras untuk memilah-milah kata yang tepat, dan bisa menghentikan kreatifitas otak kanan dalam berimajinasi. Adapun cara yang bisa dilakukan untuk menghidupkannya yaitu tidak lain juga dengan tiga prinsip pola terbentuknya pikiran bawah sadar, dari repetation (pengulangan), belief (keyakinan), dan impression (kesan).
Memang tepat, jika banyak trainer kepenulisan menyarankan kepada para penulis pemula agar terus menulis, menulis dan menulis. Karena dengan demikian, mareka akan melakukan repetation (pengulangan) yang akan membentuk pikiran bawah sadarnya sendiri. Begitupun juga saran mereka menyuruh para penulis mereka agar menulis saja, jangan khawatir tulisan itu bagus atau tidak. Karena pada dasarnya itu adalah proses menghidupkan pikiran bawah sadarnya dengan membentuk belief (keyakinan) pada si penulis pemula. Mungkin selanjutnya yang perlu digali lagi adalah impression (kesan)-nya. Bagaimana mereka dibuat agar bisa berkesan ketika menulis?
Atau teman-teman mau bercerita tentang kesan saat menulis? Silakan tuliskan kesannya setelah benar-benar menulis! ^_^
Semoga bermanfaat! ***
Menulis Berbasis Otak
Oleh R.W. Dodo*
Setiap penulis memang unik. Antara penulis satu dengan yang lain mempunyai kekuatan sendiri-sendiri pada kata yang dirangkainya. Ada yang dominan letak kekuatannya pada manis racikan kata yang dibuat, akan tetapi kurang begitu kuat dibagian informasi dan makna. Ada juga yang informasinya sangat kuat, detail dan banyak hal baru, akan tetapi lemah kemasan struktur bahasanya. Dan tak jarang, ada banyak penulis yang mampu segalanya, dari berbagai aspek semua benar-benar bertenaga.
Selain pada titik kekuatan karya, letak keunikan penulis juga ada pada proses berkarya. Tiap penulis mempunyai proses relatif tidak sama dalam menerjemahkan imajinasinya menjadi kata yang bermakna. Bahkan, seorang penulis bisa jadi mempunyai perbedaan gaya pada setiap menulis karya, baik itu terkait pada proses internal kerja otaknya maupun proses eksternal yang menunjangnya dalam berkarya.
“Saya kalau menulis harus berurutan. Kalau ternyata ada yang lupa, maka saya akan langsung cari tahu dulu di google,” begitulah aku beberapa peserta di Writer University menjelaskan bagaimana mereka melakukan proses menulis.
“Saya sih, lebih suka menulis yang saya sudah paham betul. Kalau ternyata yang saya pahami bagian bab 4, ya saya tulis bab 4. Walaupun bab 2 dan 3 belum saya buat. Nanti tidak masalah buat bab 2 dan 3 setelah bab 4 selesai dibuat. Dari pada nanti saya malah lupa,” komentar yang lain.
Bisa jadi para pembaca juga menjadi penulis yang ketika menulis sama seperti salah satu tipe di atas. Atau bahkan mempunyai tipe yang berbeda, gabungan antara keduanya?
Pada dasarnya, sah-sah saja mau menjadi tipe yang mana. Memang tidak ada patokan bahwa jika menggunakan gaya satu di antaranya bisa memastikan karya yang dibuat akan lebih bagus. Atau sebaliknya, jika menggunakan yang lain akan jelek. Dan pada catatan ini, kita tidak akan membahas pada sisi itu. Akan tetapi, akan membahas lebih jauh memahi bagaimana proses otak bekerja saat menulis.
Otak Kanan dan Otak Kiri Penulis
Semua aktifitas kita, tidak akan lepas dari proses kerja otak, termasuk di antaranya menulis. Tetapi, masih jarang sekali penulis memperhatikan pola kerja otaknya ketika berkarya. Memang ketidaktahuan penulis tentang pola kerja otak tidak selalu menjadi penentu kualitas karyanya. Karena justru yang lebih berpengaruh adalah bagaimana bisa memaksimalkan kinerja otaknya. Ya, buktinya banyak penulis yang karyanya hebat, bertenaga, dan best seller, mereka tidak tahu kinerja otak. Walaupun demikian, tentu alangkah lebih baik jika kita tahu kinerja dan bisa memaksimalkannya.
Pada tahun 1960-an, Roger Sperry melakukan sebuah penelitian fungsi otak. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat sebuah perbedaan dua fungsi otak sebelah kiri dan kanan manusia, dan hal tersebut membentuk sifat, karakteristik serta kemampuan yang berbeda pada seseorang.
Roger Sperry menyatakan bahwa, otak kiri berfungsi dalam hal-hal yang berhubungan dengan logika, rasio, kemampuan menulis dan membaca, serta merupakan pusat matematika. Beberapa pakar menyebutkan bahwa otak kiri merupakan pusat Intelligence Quotient (IQ). Sedangkan otak kanan berfungsi dalam perkembangan Emotional Quotient (EQ). Misalnya sosialisasi, komunikasi, interaksi dengan manusia lain serta pengendalian emosi. Pada otak kanan ini pula terletak kemampuan intuitif, kemampuan merasakan, memadukan, dan ekspresi tubuh, seperti menyanyi, menari, melukis dan segala jenis kegiatan kreatif lainnya.
DePorter (2004:36) mengungkapkan bahwa proses berpikir otak kiri bersifat logis, sekuensial, linear, dan rasional. Otak kiri berdasarkan realitas mampu melakukan penafsiran abstrak dan simbolis. Cara berpikir sesuai untuk tugas-tugas teratur, ekspresi verbal, menulis, membaca, asosiasi audiotorial, menempatkan detail dan fakta, fonetik, serta simbolisme. Untuk belahan otak kanan cara berpikirnya bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik. Cara berpikirnya sesuai dengan cara-cara untuk mengetahui yang bersifat nonverbal, seperti perasaan dan emosi, kesadaran yang berkenaan dengan perasaaan (merasakan kehadiran suatu benda atau orang), kesadaran spasial, pengenalan bentuk dan pola, musik, seni, kepekaan warna, kreativitas dan visualisasi.
Jadi, ketika kita menulis pada dasarnya menyinergikan kedua otak kita (kanan dan kiri). Saat kita menulis naskah fiksi, imajinasi kita ada di bagian kerja otak kanan, sedangkan bagian penerjemahan imajinasi ke kata menjadi serangkaian kalimat ada di bagian kerja otak kiri. Seorang penulis yang baik, kedua otaknya akan bersinergi dengan kompak sehingga tulisan yang dihasilkan pun menjadi imajinatif dan bahasa yang terkemas runut juga bernyawa.
Lain halnya bagi beberapa penulis yang belum seimbang antara kinerja kedua otaknya. Sekalipun kinerja otak kanannya bagus, imajinasinya benar-benar unik dan berbeda, tanpa diimbangi dengan otak kiri yang bagus, maka hasil tulisannya pun akan jadi dangkal. Bahkan, jika memaksakan diri untuk menghidupkan solusi dari otak kirinya, bisa jadi kinerja otak kanannya pun juga terhenti.
Pernah mengalami kebingungan memilih kata saat menulis? Lalu, terus memaksakan diri mencari diksi itu dengan berpikir keras dan ternyata setelah itu jadi lupa bagaimana lanjutan ceritanya? Ya, itulah yang saya maksud dengan kasus di atas.
Mungkin teman-teman jadi terbersit pertanyaan, “lalu bagaimana cara menyeimbangkan otak kanan dan kiri kita saat menulis?”
Subconsious Mind (Pikiran Bawah Sadar)
Cara mengisi daftar kata-kata di otak kiri bisa dilakukan dengan membaca, menghafal kosa-kata, mencermati orang berbicara, dan sebagainya. Tapi, hal itu tidak cukup untuk menjadi bekal agar otak kiri kita bisa benar-benar hidup saat menulis dan membantu menerjemahkan keliaran imajinasi kita menjadi kemasan kalimat yang menarik. Karena sejatinya, daya simpan memori otak kiri kita tidaklah sedahsyat yang kita kira. Daya kerja otak kiri kita menurut penelitian kekuatannya tidak lebih hanya bisa digunakan dalam waktu 3 jam. Selebihnya sudah tidak maksimal.
Pernah kalian menghafalkan rumus-rumus matematika, atau arti kata bahasa Inggris di sekolahan dan sesampainya di rumah sudah lupa? Coba diingat, apakah teman-teman masih ingat pelajaran yang sempat kalian hafal di bangku SD, SMP, SMA?
Ya, ada yang masih ingat. Tapi, porsinya sangat kecil sekali. Dan perlu diketahui, pada dasarnya yang diingat itu bukanlah pada taraf kinerja pikiran sadar kita di otak kiri. Tidak lain, itu adalah data ingatan kita yang tersimpan di pikiran bawah sadar.
Pikiran bawah sadar adalah pikiran yang bekerja secara otomatis dan bertahan lama. Adapun pola terbentuknya pikiran bawah sadar kita bekerja bersumber dari repetation (pengulangan), belief (keyakinan), dan impression (kesan). Hafalan yang kita ingat sampai sekarang sejatinya bukanlah karena hafalan kita, tapi biasanya dikarenakan memang sering diulang digunakan dalam keseharian hidup kita, atau kalau tidak begitu karena kita memang benar-benar terkesan yang diakibatkan dari kejadian yang berhubungan dengan hidup kita.
Dalam menulis, akan sangat bagus sekali jika memang dibangun dengan pola pikiran bawah sadar yang bekerja. Jadi, yang menerjemahkan imajinasi tidak hanya sekedar otak kiri, tapi pikiran bawah sadar. Sehingga, kata bisa spontan tertata dengan sendirinya tanpa harus berpikir keras untuk memilah-milah kata yang tepat, dan bisa menghentikan kreatifitas otak kanan dalam berimajinasi. Adapun cara yang bisa dilakukan untuk menghidupkannya yaitu tidak lain juga dengan tiga prinsip pola terbentuknya pikiran bawah sadar, dari repetation (pengulangan), belief (keyakinan), dan impression (kesan).
Memang tepat, jika banyak trainer kepenulisan menyarankan kepada para penulis pemula agar terus menulis, menulis dan menulis. Karena dengan demikian, mareka akan melakukan repetation (pengulangan) yang akan membentuk pikiran bawah sadarnya sendiri. Begitupun juga saran mereka menyuruh para penulis mereka agar menulis saja, jangan khawatir tulisan itu bagus atau tidak. Karena pada dasarnya itu adalah proses menghidupkan pikiran bawah sadarnya dengan membentuk belief (keyakinan) pada si penulis pemula. Mungkin selanjutnya yang perlu digali lagi adalah impression (kesan)-nya. Bagaimana mereka dibuat agar bisa berkesan ketika menulis?
Atau teman-teman mau bercerita tentang kesan saat menulis? Silakan tuliskan kesannya setelah benar-benar menulis! ^_^
Semoga bermanfaat! ***
NEW SONG KAHFI karya OM B
RODA DUNIA
Ayo kawan mari sini berbicara
cari gagasan ide sampaikanlah
cepat tinggalkan luka bahagialah
ciptakan rasa suka damai dunia
walau hal yang terkecilpun nikmatilah
karena hidup didunia ini hanya sebentar
ayo kawan mari sini bergabunglah
berikanlah sumbangsihmu cipta karya
cepat tinggalkan luka pikirkanlah
ciptakan esok lusa gapai semua
Walau hal yang terkecilpun nikmatilah
karena hidup didunia ini hanya sebentar
reff :
Tiada satupun orang yang tau siapa kita?
Kalau hidup ini hanya berpangku tangan
Tiada satupun orang yang kenal siapa kita?
Nyanyikanlah lagu warna roda-roda dunia... dunia... dunia...
Ayo kawan mari sini berbicara
cari gagasan ide sampaikanlah
cepat tinggalkan luka bahagialah
ciptakan rasa suka damai dunia
walau hal yang terkecilpun nikmatilah
karena hidup didunia ini hanya sebentar
ayo kawan mari sini bergabunglah
berikanlah sumbangsihmu cipta karya
cepat tinggalkan luka pikirkanlah
ciptakan esok lusa gapai semua
Walau hal yang terkecilpun nikmatilah
karena hidup didunia ini hanya sebentar
reff :
Tiada satupun orang yang tau siapa kita?
Kalau hidup ini hanya berpangku tangan
Tiada satupun orang yang kenal siapa kita?
Nyanyikanlah lagu warna roda-roda dunia... dunia... dunia...
Profesor Atheis Masuk Islam
REPUBLIKA.CO.ID-Sejak kecil Dr Jeffrey Lang dikenal ingin tahu. Ia kerap mempertanyakan logika sesuatu dan mengkaji apa pun berdasarkan perspektif rasional. “Ayah, surga itu ada?” tanya Jeffrey kecil suatu kali kepada ayahnya tentang keberadaan surga, saat keduanya berjalan bersama anjing peliharaan mereka di pantai. Bukan suatu kejutan jika kelak Jeffrey Lang menjadi profesor matematika, sebuah wilayah dimana tak ada tempat selain logika.
Saat menjadi siswa tahun terakhir di Notre Dam Boys High, sebuah SMA Katholik, Jeffrey Lang memiliki keberatan rasional terhadap keyakinan akan keberadaan Tuhan. Diskusi dengan pendeta sekolah, orangtuanya, dan rekan sekelasnya tak juga bisa memuaskannya tentang keberadaan Tuhan. “Tuhan akan membuatmu tertunduk, Jeffrey!” kata ayahnya ketika ia membantah keberadaan Tuhan di usia 18 tahun.
Adsblock | Wizurai Belajar bisnis online Kursus php online Usaha jamur tiram
Ia akhirnya memutuskan menjadi atheis pada usia 18 tahun, yang berlangsung selama 10 tahun ke depan selama menjalani kuliah S1, S2, dan S3, hingga akhirnya memeluk Islam.
Adalah beberapa saat sebelum atau sesudah memutuskan menjadi atheis, Jeffrey Lang mengalami sebuah mimpi. Berikut penuturan Jeffrey Lang tentang mimpinya itu:
Kami berada dalam sebuah ruangan tanpa perabotan. Tak ada apa pun di tembok ruangan itu yang berwarna putih agak abu-abu.
Satu-satunya ‘hiasan’ adalah karpet berpola dominan merah-putih yang menutupi lantai. Ada sebuah jendela kecil, seperti jendela ruang bawah tanah, yang terletak di atas dan menghadap ke kami. Cahaya terang mengisi ruangan melalui jendela itu.
Kami membentuk deretan. Saya berada di deret ketiga. Semuanya pria, tak ada wanita, dan kami semua duduk di lantai di atas tumit kami, menghadap arah jendela.
Terasa asing. Saya tak mengenal seorang pun. Mungkin, saya berada di Negara lain. Kami menunduk serentak, muka kami menghadap lantai. Semuanya tenang dan hening, bagaikan semua suara dimatikan. Kami serentak kami kembali duduk di atas tumit kami. Saat saya melihat ke depan, saya sadar kami dipimpin oleh seseorang di depan yang berada di sisi kiri saya, di tengah kami, di bawah jendela. Ia berdiri sendiri. Saya hanya bisa melihat singkat punggungnya. Ia memakai jubah putih panjang. Ia mengenakan selendang putih di kepalanya, dengan desain merah. Saat itulah saya terbangun.
Sepanjang sepuluh tahun menjadi atheis, Jeffrey Lang beberapa kali mengalami mimpi yang sama. Bagaimanapun, ia tak terganggu dengan mimpi itu. Ia hanya merasa nyaman saat terbangun. Sebuah perasaan nyaman yang aneh. Ia tak tahu apa itu. Tak ada logika di balik itu, dan karenanya ia tak peduli kendati mimpi itu berulang.
Sepuluh tahun kemudian, saat pertama kali memberi kuliah di University of San Fransisco, dia bertemu murid Muslim yang mengikuti kelasnya. Tak hanya dengan sang murid, Jeffrey pun tak lama kemudian menjalin persahabatan dengan keluarga sang murid. Agama bukan menjadi topik bahasan saat Jeffrey menghabiskan waktu dengan keluarga sang murid. Hingga setelah beberapa waktu salah satu anggota keluarga sang murid memberikan Alquran kepada Jeffrey.
Kendati tak sedang berniat mengetahui Islam, Jeffrey mulai membuka-buka Alquran dan membacanya. Saat itu kepalanya dipenuhi berbagai prasangka.
“Anda tak bisa hanya membaca Alquran, tidak bisa jika Anda tidak menganggapnya serius. Anda harus, pertama, memang benar-benar telah menyerah kepada Alquran, atau kedua, ‘menantangnya’,” ungkap Jeffrey.
Ia kemudian mendapati dirinya berada di tengah-tengah pergulatan yang sangat menarik. “Ia (Alquran) ‘menyerang’ Anda, secara langsung, personal. Ia (Alquran) mendebat, mengkritik, membuat (Anda) malu, dan menantang. Sejak awal ia (Alquran) menorehkan garis perang, dan saya berada di wilayah yang berseberangan.”
“Saya menderita kekalahan parah (dalam pergulatan). Dari situ menjadi jelas bahwa Sang Penulis (Alquran) mengetahui saya lebih baik ketimbang diri saya sendiri,” kata Jeffrey. Ia mengatakan seakan Sang Penulis membaca pikirannya. Setiap malam ia menyiapkan sejumlah pertanyaan dan keberatan, namun selalu mendapati jawabannya pada bacaan berikutnya, seiring ia membaca halaman demi halaman Alquran secara berurutan.
“Alquran selalu jauh di depan pemikiran saya. Ia menghapus aral yang telah saya bangun bertahun-tahun lalu dan menjawab pertanyaan saya.” Jeffrey mencoba melawan dengan keras dengan keberatan dan pertanyaan, namun semakin jelas ia kalah dalam pergulatan. “Saya dituntun ke sudut di mana tak ada lain selain satu pilihan.”
Saat itu awal 1980-an dan tak banyak Muslim di kampusnya, University of San Fransisco. Jeffrey mendapati sebuah ruangan kecil di basement sebuah gereja di mana sejumlah mahasiswa Muslim melakukan sholat. Usai pergulatan panjang di benaknya, ia memberanikan diri untuk mengunjungi tempat itu.
Beberapa jam mengunjungi di tempat itu, ia mendapati dirinya mengucap syahadat. Usai syahadat, waktu shalat dzuhur tiba dan ia pun diundang untuk berpartisipasi. Ia berdiri dalam deretan dengan para mahasiswa lainnya, dipimpin imam yang bernama Ghassan. Jeffrey mulai mengikuti mereka shalat berjamaah.
Jeffrey ikut bersujud. Kepalanya menempel di karpet merah-putih. Suasananya tenang dan hening, bagaikan semua suara dimatikan. Ia lalu kembali duduk di antara dua sujud.
“Saat saya melihat ke depan, saya bisa melihat Ghassan, di sisi kiri saya, di tengah-tengah, di bawah jendela yang menerangi ruangan dengan cahaya. Dia sendirian, tanpa barisan. Dia mengenakan jubah putih panjang. Selendang (scarf) putih menutupi kepalanya, dengan desain merah.”
“Mimpi itu! Saya berteriak dalam hati. Mimpi itu, persis! Saya telah benar-benar melupakannya, dan sekarang saya tertegun dan takut. Apakah ini mimpi? Apakah saya akan terbangun? Saya mencoba fokus apa yang terjadi untuk memastikan apakah saya tidur. Rasa dingin mengalir cepat ke seluruh tubuh saya. Ya Tuhan, ini nyata! Lalu rasa dingin itu hilang, berganti rasa hangat yang berasal dari dalam. Air mata saya bercucuran.”
Ucapan ayahnya sepuluh tahun silam terbukti. Ia kini berlutut, dan wajahnya menempel di lantai. Bagian tertinggi otaknya yang selama ini berisi seluruh pengetahuan dan intelektualitasnya kini berada di titik terendah, dalam sebuah penyerahan total kepada Allah SWT.
Jeffrey Lang merasa Tuhan sendiri yang menuntunnya kepada Islam. “Saya tahu Tuhan itu selalu dekat, mengarahkan hidup saya, menciptakan lingkungan dan kesempatan untuk memilih, namun tetap meninggalkan pilihan krusial kepada saya,” ujar Jeffrey kini.
Jeffrey kini professor jurusan matematika University of Kansas dan memiliki tiga anak. Ia menulis tiga buku yang banyak dibaca oleh Muslim AS: Struggling to Surrender (Beltsville, 1994); Even Angels Ask (Beltsville, 1997); dan Losing My Religion: A Call for Help (Beltsville, 2004). Ia memberi kuliah di banyak kampus dan menjadi pembicara di banyak konferensi Islam.
Ia memiliki tiga anak, dan bukan sebuah kejutan anaknya memiliki rasa keingintahuan yang sama. Jeffrey kini harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang sama yang dulu ia lontarkan kepada ayahnya. Suatu hari ia ditanya oleh anak perempuannya yang berusia delapan tahun, Jameelah, usai mereka shalat Ashar berjamaah. “Ayah, mengapa kita shalat?”
“Pertanyaannya mengejutkan saya. Tak sangka berasal dari anak usia delapan tahun. Saya tahu memang jawaban yang paling jelas, bahwa Muslim diwajibkan shalat. Tapi, saya tak ingin membuang kesempatan untuk berbagi pengalaman dan keuntungan dari shalat. Bagaimana pun, usai menyusun jawaban di kepala, saya memulai dengan, ‘Kita shalat karena Tuhan ingin kita melakukannya’,”
“Tapi kenapa, ayah, apa akibat dari shalat?” Jameela kembali bertanya. “Sulit menjelaskan kepada anak kecil, sayang. Suatu hari, jika kamu melakukan shalat lima waktu tiap hari, saya yakin kami akan mengerti, namun ayah akan coba yang terbaik untuk menjawan pertanyaan kamu.
Saat menjadi siswa tahun terakhir di Notre Dam Boys High, sebuah SMA Katholik, Jeffrey Lang memiliki keberatan rasional terhadap keyakinan akan keberadaan Tuhan. Diskusi dengan pendeta sekolah, orangtuanya, dan rekan sekelasnya tak juga bisa memuaskannya tentang keberadaan Tuhan. “Tuhan akan membuatmu tertunduk, Jeffrey!” kata ayahnya ketika ia membantah keberadaan Tuhan di usia 18 tahun.
Adsblock | Wizurai Belajar bisnis online Kursus php online Usaha jamur tiram
Ia akhirnya memutuskan menjadi atheis pada usia 18 tahun, yang berlangsung selama 10 tahun ke depan selama menjalani kuliah S1, S2, dan S3, hingga akhirnya memeluk Islam.
Adalah beberapa saat sebelum atau sesudah memutuskan menjadi atheis, Jeffrey Lang mengalami sebuah mimpi. Berikut penuturan Jeffrey Lang tentang mimpinya itu:
Kami berada dalam sebuah ruangan tanpa perabotan. Tak ada apa pun di tembok ruangan itu yang berwarna putih agak abu-abu.
Satu-satunya ‘hiasan’ adalah karpet berpola dominan merah-putih yang menutupi lantai. Ada sebuah jendela kecil, seperti jendela ruang bawah tanah, yang terletak di atas dan menghadap ke kami. Cahaya terang mengisi ruangan melalui jendela itu.
Kami membentuk deretan. Saya berada di deret ketiga. Semuanya pria, tak ada wanita, dan kami semua duduk di lantai di atas tumit kami, menghadap arah jendela.
Terasa asing. Saya tak mengenal seorang pun. Mungkin, saya berada di Negara lain. Kami menunduk serentak, muka kami menghadap lantai. Semuanya tenang dan hening, bagaikan semua suara dimatikan. Kami serentak kami kembali duduk di atas tumit kami. Saat saya melihat ke depan, saya sadar kami dipimpin oleh seseorang di depan yang berada di sisi kiri saya, di tengah kami, di bawah jendela. Ia berdiri sendiri. Saya hanya bisa melihat singkat punggungnya. Ia memakai jubah putih panjang. Ia mengenakan selendang putih di kepalanya, dengan desain merah. Saat itulah saya terbangun.
Sepanjang sepuluh tahun menjadi atheis, Jeffrey Lang beberapa kali mengalami mimpi yang sama. Bagaimanapun, ia tak terganggu dengan mimpi itu. Ia hanya merasa nyaman saat terbangun. Sebuah perasaan nyaman yang aneh. Ia tak tahu apa itu. Tak ada logika di balik itu, dan karenanya ia tak peduli kendati mimpi itu berulang.
Sepuluh tahun kemudian, saat pertama kali memberi kuliah di University of San Fransisco, dia bertemu murid Muslim yang mengikuti kelasnya. Tak hanya dengan sang murid, Jeffrey pun tak lama kemudian menjalin persahabatan dengan keluarga sang murid. Agama bukan menjadi topik bahasan saat Jeffrey menghabiskan waktu dengan keluarga sang murid. Hingga setelah beberapa waktu salah satu anggota keluarga sang murid memberikan Alquran kepada Jeffrey.
Kendati tak sedang berniat mengetahui Islam, Jeffrey mulai membuka-buka Alquran dan membacanya. Saat itu kepalanya dipenuhi berbagai prasangka.
“Anda tak bisa hanya membaca Alquran, tidak bisa jika Anda tidak menganggapnya serius. Anda harus, pertama, memang benar-benar telah menyerah kepada Alquran, atau kedua, ‘menantangnya’,” ungkap Jeffrey.
Ia kemudian mendapati dirinya berada di tengah-tengah pergulatan yang sangat menarik. “Ia (Alquran) ‘menyerang’ Anda, secara langsung, personal. Ia (Alquran) mendebat, mengkritik, membuat (Anda) malu, dan menantang. Sejak awal ia (Alquran) menorehkan garis perang, dan saya berada di wilayah yang berseberangan.”
“Saya menderita kekalahan parah (dalam pergulatan). Dari situ menjadi jelas bahwa Sang Penulis (Alquran) mengetahui saya lebih baik ketimbang diri saya sendiri,” kata Jeffrey. Ia mengatakan seakan Sang Penulis membaca pikirannya. Setiap malam ia menyiapkan sejumlah pertanyaan dan keberatan, namun selalu mendapati jawabannya pada bacaan berikutnya, seiring ia membaca halaman demi halaman Alquran secara berurutan.
“Alquran selalu jauh di depan pemikiran saya. Ia menghapus aral yang telah saya bangun bertahun-tahun lalu dan menjawab pertanyaan saya.” Jeffrey mencoba melawan dengan keras dengan keberatan dan pertanyaan, namun semakin jelas ia kalah dalam pergulatan. “Saya dituntun ke sudut di mana tak ada lain selain satu pilihan.”
Saat itu awal 1980-an dan tak banyak Muslim di kampusnya, University of San Fransisco. Jeffrey mendapati sebuah ruangan kecil di basement sebuah gereja di mana sejumlah mahasiswa Muslim melakukan sholat. Usai pergulatan panjang di benaknya, ia memberanikan diri untuk mengunjungi tempat itu.
Beberapa jam mengunjungi di tempat itu, ia mendapati dirinya mengucap syahadat. Usai syahadat, waktu shalat dzuhur tiba dan ia pun diundang untuk berpartisipasi. Ia berdiri dalam deretan dengan para mahasiswa lainnya, dipimpin imam yang bernama Ghassan. Jeffrey mulai mengikuti mereka shalat berjamaah.
Jeffrey ikut bersujud. Kepalanya menempel di karpet merah-putih. Suasananya tenang dan hening, bagaikan semua suara dimatikan. Ia lalu kembali duduk di antara dua sujud.
“Saat saya melihat ke depan, saya bisa melihat Ghassan, di sisi kiri saya, di tengah-tengah, di bawah jendela yang menerangi ruangan dengan cahaya. Dia sendirian, tanpa barisan. Dia mengenakan jubah putih panjang. Selendang (scarf) putih menutupi kepalanya, dengan desain merah.”
“Mimpi itu! Saya berteriak dalam hati. Mimpi itu, persis! Saya telah benar-benar melupakannya, dan sekarang saya tertegun dan takut. Apakah ini mimpi? Apakah saya akan terbangun? Saya mencoba fokus apa yang terjadi untuk memastikan apakah saya tidur. Rasa dingin mengalir cepat ke seluruh tubuh saya. Ya Tuhan, ini nyata! Lalu rasa dingin itu hilang, berganti rasa hangat yang berasal dari dalam. Air mata saya bercucuran.”
Ucapan ayahnya sepuluh tahun silam terbukti. Ia kini berlutut, dan wajahnya menempel di lantai. Bagian tertinggi otaknya yang selama ini berisi seluruh pengetahuan dan intelektualitasnya kini berada di titik terendah, dalam sebuah penyerahan total kepada Allah SWT.
Jeffrey Lang merasa Tuhan sendiri yang menuntunnya kepada Islam. “Saya tahu Tuhan itu selalu dekat, mengarahkan hidup saya, menciptakan lingkungan dan kesempatan untuk memilih, namun tetap meninggalkan pilihan krusial kepada saya,” ujar Jeffrey kini.
Jeffrey kini professor jurusan matematika University of Kansas dan memiliki tiga anak. Ia menulis tiga buku yang banyak dibaca oleh Muslim AS: Struggling to Surrender (Beltsville, 1994); Even Angels Ask (Beltsville, 1997); dan Losing My Religion: A Call for Help (Beltsville, 2004). Ia memberi kuliah di banyak kampus dan menjadi pembicara di banyak konferensi Islam.
Ia memiliki tiga anak, dan bukan sebuah kejutan anaknya memiliki rasa keingintahuan yang sama. Jeffrey kini harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang sama yang dulu ia lontarkan kepada ayahnya. Suatu hari ia ditanya oleh anak perempuannya yang berusia delapan tahun, Jameelah, usai mereka shalat Ashar berjamaah. “Ayah, mengapa kita shalat?”
“Pertanyaannya mengejutkan saya. Tak sangka berasal dari anak usia delapan tahun. Saya tahu memang jawaban yang paling jelas, bahwa Muslim diwajibkan shalat. Tapi, saya tak ingin membuang kesempatan untuk berbagi pengalaman dan keuntungan dari shalat. Bagaimana pun, usai menyusun jawaban di kepala, saya memulai dengan, ‘Kita shalat karena Tuhan ingin kita melakukannya’,”
“Tapi kenapa, ayah, apa akibat dari shalat?” Jameela kembali bertanya. “Sulit menjelaskan kepada anak kecil, sayang. Suatu hari, jika kamu melakukan shalat lima waktu tiap hari, saya yakin kami akan mengerti, namun ayah akan coba yang terbaik untuk menjawan pertanyaan kamu.
Langganan:
Postingan (Atom)